Halaman Blog ini

"SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA KAWAN"

Selamat datang di website saya kawan. Mari kita berbagi! Berbagi ilmu, berbagi rasa, berbagi pengalaman, berbagi materi atau berbagi apa saja. Kita isi kehidupan ini dengan hal-hal yang positif, yang bermanfaat, yang membangun bagi diri sendiri dan sesama. Mari kita wujudkan Indonesia yang damai sejahtera, mulai dari diri kita, mulai saat ini, atau tidak sama sekali! Salam Damai Indonesia.

Senin, 14 Mei 2012

Kesombongan Rombongan





“Perlakukan setiap orang dengan kebaikan hati dan rasa hormat, meski mereka berlaku buruk kepada Anda. Ingatlah bahwa Anda menunjukkan penghargaan kepada orang lain bukan karena siapa mereka, melainkan karena siapa diri Anda” – Andrew T. Somers.

Tanjung Tabalong, 03 Maret 2012

        Entah bagaimana mulanya, yang jelas saya berada di rombongan pengendara ini. Rombongan yang menurut saya angkuhnya luar biasa. Bagaimana tidak angkuh, jika berjalan di jalan raya saja tidak satu pun yang berhelm, melambai-lambaikan bendera kuning serta mengambil jalan kendaraan seberangnya, memaksa mereka menepi dan mungkin saking takutnya sampai berhenti, memelototi mereka yang nggak mau mengurangi lajunya bahkan menutup jalan di pertigaan atau perempatan dengan menghadangkan motornya.

        Meskipun saya ada di dalamnya, tetapi saya merasa bukan bagian darinya. Saja tetap bermotor seperti apa adanya kebiasaan saya. Berjalan di jalur kiri, berhelm, menyalakan lampu dan tetap tertib di jalur saya. Kalau kebetulan saya berada di antara mereka karena memang begini tradisinya. Berjalan berarakan, berombongan mengantar jenazah ke peristirahatan akhirnya. Saya ikut berbela sungkawa, dan saya menghargai kesedihan anggota keluarganya, dan saya menunjukkan simpati saya dengan mengantarkan jenazahnya. Tetapi perihal perilaku di jalan raya tadi jelas bukan watak saya.

        Ya, itulah fenomena pengantar mayat ke kuburan di negeri ini. Barang siapa yang ketemu mereka harus minggir dan mengalah kalau tidak mau dimaki dan dipelototin semua pengendaranya. Bahkan menghadapi massa yang begitu banyaknya, bapak polisi di sudut perempatan itu hanya cuman terdiam saja sehingga makin membenarkan kelakuan mereka. Kalau sudah menyangkut massa, siapa yang sanggup menahannya? Kalau tidak mau babak belur mending kita diam saja dengan menahan sesak di dada.

        Ini baru kesombongan rombongan pelayat. Perhatikanlah lagi rombongan yang lebih ‘mulia’. Berseragam lengkap dengan atribut dan bendera besar besarnya, bersenjatakan pentungan. Jangankan pemobil atau pemotor lainnya kalau perlu penjual dengan dorongannya pun digebugnya kalau tidak minggir seturut kehendaknya. Mengenakan ‘topi’ kebanggaannya lebih penting daripada helm pelindung kepalanya. Kalau helm-nya saja tidak dikenakannya, bisa dibayangkan betapa suara knalpotnya. Kalau kita ketemu mereka, seolah olah mendapat malapetaka. Jadi kalau kita masih sayang keluarga dan mobil kita, minggir dan menahan laju itu pilihannya. Dalam kondisi seperti ini memang kita seakan dipaksa menghargai keberadaannya, namun saya yakin jauh di lubuk hati kita, mengapa masih gerombolan ini masih saja tetap ada.

        Coba kita beralih dari jalan raya ke kampung kita. Perhatikanlah warga yang sedang kerja bakti di kampung kita. Tak peduli pengusaha, karyawan, guru, TNI/POLRI, tukang bangunan, tukang parkir sampai ke pengangguran, kalau sudah berombongan mereka adalah penguasa. Karena penguasa mereka jadi semena-mena dengan sesama warga. Warga yang tidak bisa hadir acara bisa tiba-tiba bisa menjadi terdakwa, maka hujatan cacian layak disandangkan kepadanya. Dalam rombongan, si tukang bakso bisa dengan garangnya mengusir mobil yang mau melewati jalannya. Si penganggur bisa semena-mena memukuli tiang listrik dan berteriak-teriak bak seorang panglima. Dalam rombongan si tukang mie ayam bisa seenaknya memaki-maki pengendara yang menyenggol cangkul dan pengkinya. Mereka telah menjelma menjadi rombongan mulia, rombongan pahlawan yang berjasa. Jadi barang siapa yang tidak mau menghargainya pasti pantas dilibas pikirnya.

        Itulah fenomena rombongan di negeri saya yang di mata saya lebih terlihat kesombongannya daripada keramahannya. Anda bisa temui dimana-mana, baik di kota dan di desa. Apalagi kalau sudah menyangkut SARA, mereka harus terlihat mulia sehingga bagi siapa yang dirasa menghambat jalannya dianggap musuh yang harus binasa. Aura kesangarannya merebak mengintimidasi sesama. Tidak ada benar salah di benak mereka, yang ada adalah ini lah rombongan saya! Anda harus menghargai rombongan saya! Anda harus menurut apa kata rombongan saya! Kalau tidak, Anda bakal celaka! Tidak ada aturan bagi mereka, aturan sebenarnya adalah apa yang ada di benaknya. Ada di rombongannya. Ya, mereka merasa berjaya karena ada gerombolan bersamanya. Kalau masa itu telah berakhir, rombongannya telah bubar kembali mereka seperti semula, rakyat jelata yang tidak punya kuasa apa-apa.