“Perlakukan setiap orang dengan
kebaikan hati dan rasa hormat, meski mereka berlaku buruk kepada Anda. Ingatlah
bahwa Anda menunjukkan penghargaan kepada orang lain bukan karena siapa mereka,
melainkan karena siapa diri Anda” – Andrew T. Somers.
Tanjung
Tabalong, 03 Maret 2012
Entah bagaimana mulanya, yang jelas saya
berada di rombongan pengendara ini. Rombongan yang menurut saya angkuhnya luar
biasa. Bagaimana tidak angkuh, jika berjalan di jalan raya saja tidak satu pun
yang berhelm, melambai-lambaikan bendera kuning serta mengambil jalan kendaraan
seberangnya, memaksa mereka menepi dan mungkin saking takutnya sampai berhenti,
memelototi mereka yang nggak mau mengurangi lajunya bahkan menutup jalan di
pertigaan atau perempatan dengan menghadangkan motornya.
Meskipun saya ada di dalamnya, tetapi
saya merasa bukan bagian darinya. Saja tetap bermotor seperti apa adanya
kebiasaan saya. Berjalan di jalur kiri, berhelm, menyalakan lampu dan tetap
tertib di jalur saya. Kalau kebetulan saya berada di antara mereka karena
memang begini tradisinya. Berjalan berarakan, berombongan mengantar jenazah ke
peristirahatan akhirnya. Saya ikut berbela sungkawa, dan saya menghargai
kesedihan anggota keluarganya, dan saya menunjukkan simpati saya dengan
mengantarkan jenazahnya. Tetapi perihal perilaku di jalan raya tadi jelas bukan
watak saya.
Ya, itulah fenomena pengantar mayat ke
kuburan di negeri ini. Barang siapa yang ketemu mereka harus minggir dan
mengalah kalau tidak mau dimaki dan dipelototin semua pengendaranya. Bahkan menghadapi
massa yang
begitu banyaknya, bapak polisi di sudut perempatan itu hanya cuman terdiam saja
sehingga makin membenarkan kelakuan mereka. Kalau sudah menyangkut massa , siapa yang sanggup menahannya?
Kalau tidak mau babak belur mending kita diam saja dengan menahan sesak di
dada.
Ini baru kesombongan rombongan pelayat.
Perhatikanlah lagi rombongan yang lebih ‘mulia’. Berseragam lengkap dengan
atribut dan bendera besar besarnya, bersenjatakan pentungan. Jangankan pemobil
atau pemotor lainnya kalau perlu penjual dengan dorongannya pun digebugnya
kalau tidak minggir seturut kehendaknya. Mengenakan ‘topi’ kebanggaannya lebih
penting daripada helm pelindung kepalanya. Kalau helm-nya saja tidak
dikenakannya, bisa dibayangkan betapa suara knalpotnya. Kalau kita ketemu
mereka, seolah olah mendapat malapetaka. Jadi kalau kita masih sayang keluarga
dan mobil kita, minggir dan menahan laju itu pilihannya. Dalam kondisi seperti
ini memang kita seakan dipaksa menghargai keberadaannya, namun saya yakin jauh
di lubuk hati kita, mengapa masih gerombolan ini masih saja tetap ada.
Coba kita beralih dari jalan raya ke
kampung kita. Perhatikanlah warga yang sedang kerja bakti di kampung kita. Tak
peduli pengusaha, karyawan, guru, TNI/POLRI, tukang bangunan, tukang parkir
sampai ke pengangguran, kalau sudah berombongan mereka adalah penguasa. Karena
penguasa mereka jadi semena-mena dengan sesama warga. Warga yang tidak bisa
hadir acara bisa tiba-tiba bisa menjadi terdakwa, maka hujatan cacian layak
disandangkan kepadanya. Dalam rombongan, si tukang bakso bisa dengan garangnya
mengusir mobil yang mau melewati jalannya. Si penganggur bisa semena-mena
memukuli tiang listrik dan berteriak-teriak bak seorang panglima. Dalam
rombongan si tukang mie ayam bisa seenaknya memaki-maki pengendara yang
menyenggol cangkul dan pengkinya. Mereka telah menjelma menjadi rombongan
mulia, rombongan pahlawan yang berjasa. Jadi barang siapa yang tidak mau
menghargainya pasti pantas dilibas pikirnya.
Itulah fenomena rombongan di negeri saya
yang di mata saya lebih terlihat kesombongannya daripada keramahannya. Anda
bisa temui dimana-mana, baik di kota
dan di desa. Apalagi kalau sudah menyangkut SARA, mereka harus terlihat mulia
sehingga bagi siapa yang dirasa menghambat jalannya dianggap musuh yang harus
binasa. Aura kesangarannya merebak mengintimidasi sesama. Tidak ada benar salah
di benak mereka, yang ada adalah ini lah rombongan saya! Anda harus menghargai
rombongan saya! Anda harus menurut apa kata rombongan saya! Kalau tidak, Anda
bakal celaka! Tidak ada aturan bagi mereka, aturan sebenarnya adalah apa yang
ada di benaknya. Ada
di rombongannya. Ya, mereka merasa berjaya karena ada gerombolan bersamanya.
Kalau masa itu telah berakhir, rombongannya telah bubar kembali mereka seperti
semula, rakyat jelata yang tidak punya kuasa apa-apa.