Halaman Blog ini

"SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA KAWAN"

Selamat datang di website saya kawan. Mari kita berbagi! Berbagi ilmu, berbagi rasa, berbagi pengalaman, berbagi materi atau berbagi apa saja. Kita isi kehidupan ini dengan hal-hal yang positif, yang bermanfaat, yang membangun bagi diri sendiri dan sesama. Mari kita wujudkan Indonesia yang damai sejahtera, mulai dari diri kita, mulai saat ini, atau tidak sama sekali! Salam Damai Indonesia.

Jumat, 26 Agustus 2011

Homesick, Rindu Udik



Jakarta, 26 Agustus 2011

Semuanya tersenyum, semuanya tertawa, semuanya bercanda, berfoto, bergurau, bersalaman, berpelukan, berciuman. Setidaknya suasana itulah yang saya lihat dari atas jendela kantor saya. Mudik bersama dengan armada bus terbaik di negeri ini dengan hanya membayar limapuluh ribu rupiah sudah bisa menghantarkan mereka sampai ke kota tujuan, yang bahkan sampai ujung timur pulau Jawa. Memang sudah menjadi tradisi perusahaan kami menyelenggarakan mudik bersama setiap tahun, tradisi yang mungkin membuat iri karyawan perusahaan lain. Karyawan tinggal duduk nyantai bersama kerabat atau keluarga, para pengemudi ‘profesional’ akan menghantar ke kota kerinduan dengan nyaman dan aman. Bahkan mereka tidak perlu repot-repot membawa bekal makanan, karena panitia sudah menyediakannya, dari minuman, snack, bahkan makanan untuk buka dan sahur keesokan harinya. Ah, meskipun saya tidak ikut mudik, saya bersukyur dan turut bahagia merasakan kebahagiaan menjadi karyawan perusahaan ini.

Euphoria mudik sudah mulai terasa saat ini. Di televisi, di internet, di radio, di surat kabar, di jejaring sosial, semuanya memberitakan informasi seputaran mudik dengan segala pernak-pernik yang menyertainya. Dari macetnya jalan tol, kiloan meter panjangnya kendaraan merayap di Pantura, berjubalnya penumpang di stasuin kereta dan terminal bus, ribuan motor yang menyemut di Kalimalang, hilir mudiknya penumpang dan barang di kapal-kapal penyeberangan, posko-posko bantuan mudik oleh agen-agen kendaraan, posko-posko kesehatan, posko-posko bantuan polisi, mobil-mobil pribadi dengan bagasi dadakan diatasnya menjadi pemandangan ‘unik’ yang (mungkin) hanya ada di Indonesia.

Tidaklah salah kalau euphoria seperti yang saya gambarkan di atas hanya ada di negeri ini, karena fenomena-fenomena di atas berkaitan erat dengan budaya bangsa ini. Mudik dengan segala resikonya sudah menjadi budaya turun-temurun bangsa ini. Lelah tetapi menyenangkan, berbahaya tetapi mengasyikkan. Ada makna yang sangat penting di dalamnya, sehingga mengalahkan resiko dan efek sampingnya. Dan makna itu tidak tergantikan, tak terbayarkan oleh apa pun juga.

Ah, rupanya saya salah! Budaya mudik ternyata bukan hanya ada di Indonesia dan oleh umat muslim saja. Mungkin hanya cara dan perilakunya berbeda. Dalam bahasa Spanyol rindu mudik ini disebut "el mal de corazón" yang artinya sakit hati. Hati yang sakit karena ridu kampung halamannya. Rindu mudik tersebut bisa disamakan juga dengan rindu akan masa lampau atau Notstalgia. Kata Nostalgia itu diserap dari dua kata dalam bahasa Yunani "Notos" yang artinya kembali ke rumah dan "algos" yang berarti sakit/rindu. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut Homesick, dalam bahasa Jerman "Heimweh" . Weh artinya sakit, Heim artinya rumah atau Heimat yang artinya tanah air. Kata Heim itu sendiri diserap dari bahasa Jerman kuno Heimoti yang artinya Surga.

Sedangkan di negeri ini kata Mudik diambil dari kata "Udik" yang berarti desa atau jauh dari kota alias di udik. Mudik berarti kembali ke udik, ke asal usul kita. Tidak peduli kita sekarang tinggal di kota besar, di rumah mewah, atau bahkan di luar negeri, ini tidak akan bisa menggantikan suasana seperti rumah di kampung halaman sendiri, meskipun begitu ‘udik’nya kampung kita.

Di Eropa, penyakit rindu mudik ini lebih dikenal dengan sebutan "penyakit orang Swiss". Masalahnya sejak abad ke 15 banyak sekali pemuda dari Swiss yang bekerja sebagai tentara bayaran di Italy, Perancis, Jerman maupun Belanda. Mereka itu adalah serdadu bayaran yang pertama, oleh sebab itu juga sampai dengan saat ini di Vatikan masih tetap mengerjakan para serdadu Swiss. Namun kelemahan dari para serdadu Swiss itu mereka sering rindu mudik. Hal ini membuat banyak serdadu tersebut yang sering minggat maupun bunuh diri. Maka dari itu pada abad ke 18 di Perancis orang akan dihukum mati apabila berani menyanyikan atau bersiul lagu kampungnya orang Swiss "Kuhreihen" (Ranz de Vaches), mereka takut para serdadu bayaran mereka minggat. Tetapi kayaknya kita nggak akan minggat deh hanya gara-gara mendengan lagu Bengawan Solo, hehehe.

Para perantau yang mengadu nasib di kota-kota maupun di luar negeri pada hari Lebaran dapat bertemu dengan sanak saudara, keluarga, serta kerabat di tempat kelahirannya. Rasa haru mewarnai ajang tali silaturahmi, karena mereka selama satu tahun atau lebih berpisah kini dapat berkumpul, bercengkerama, bersendau gurau, serta melepas rindu antar saudara dan kerabat. Dari silaturahmi ini, timbullah rasa kebersamaan, kekeluargaan persatuan dan kesatuan, sehingga dapat merasakan kembali hidup dalam kerukunan, atau rukun dalam kehidupan. Pada saat mudik; kita bisa menjaga silaturahim dengan kerabat di kampung halaman atau lebih jauh lagi kita

bakal tetap ingat kepada asal-muasal kita.

Namun bagi kita yang tidak bisa mudik seharusnya tidak perlu terlalau bersedih. Banyak cara kita untuk tetap bisa bersilaturahmi, misalkan melalui surat (sudah nggak jaman kali ya… hehehe… ) dan kalau emak, babe kita bisa internet, cahtting email, video conference adalah solusinya, atau minimal telepon, sebab kata arti sebenarnya dari silahturahmi adalah mendekatkan hubungan kekeluargaan dari segi aspek psikologis atau rohani saja, tanpa kehadiran jasmani atau fisik. Beda silatu-'rahim" sebab kata tersebut mengandung makna lebih dalam. Kata rahim berarti menyertakan jasmani dan rohani. Tapi bagaiamana pun, say yakin kepuasan bathin jelas akan lebih lengkap kalau bisa berjumpa secara fisik.

Nah, bendera start sudah diangkat, sirene polisi pengawal sudah meraung, gemuruh suara mesin bus sudah menderu-deru, lambaian tangan kerabat melepas Anda. Selamat jalan sobat, semoga perjalanan Anda menyenangkan kami doakan selamat sampai tujuan, bertemu dengan keluarga dan handai taulan, sehingga sempurnalah kebahagiaan kita.

Selamat Mudik. Tuhan memberkati.

(Cat. Data diambil dari berbagai sumber, terutama dari guru besar saya, Mang Ucup).

Rabu, 24 Agustus 2011

Ah, Ternyata Saya Kurang Cerdas!



“Alternatif untuk membuat kualitas, antara lain: kemampuan, kesungguhan, ketelitian, dan kecermatan.” – W.A. Foster

Jakarta, 24 Agustus 2011

Di perusahaan tempat saya bekerja ini, saya sering diminta untuk menjadi pembicara baik di kelas-kelas kecil maupun yang (relative) besar. Latar belakang saya sebagai Plant Instructor membuat saya ‘tidak kesulitan’ berbicara di tempat umum, dan di posisi saya sekarang ini (People Development) materi yang saya bawakan tidak lagi melulu seputaran teknik tetapi lebih cenderung ke arah pengembangan individu antara lain; motivasi, kepribadian, kepemimpinan dll. Salah satu materi favorit saya adalah ‘effective communication’, dan saya bersyukur karena kesempatan untuk belajar (apa saja) sudah membudaya di perusahan kami ini sehingga saya tidak kesulitan mencari bahan untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan dalam mengajar.

Karena saya sering mengajarkan tentang komunikasi yang efektif, maka saya juga harus mempraktekkannya dalam kehidupan saya sehari-hari. Karena saya paham benar akan permasalahan yang timbul akibat komunikasi yang tidak efektif, maka saya sangat menghargai dan mengusahakan bahwa setiap informasi yang kita komunikasikan harus benar-benar clear dan sampai kepada tujuan dengan sama maknanya—tidak dikurangi atau dilebihi. Saya sering menegur istri saya—yang mungkin sama dengan kebanyakan orang lain—yang menulis sms dengan singkatan-singkatan atau tidak mengetikkan tanda baca sehingga bisa menimbulkan mispersepsi bagi si penerimanya. Contoh dia menulis seperti ini: “nti sore jd”. Nah, bingung kan? Itu maksudnya nanya apa ngasih tahu? Bukankah sebaiknya kalau mau nanya ya tinggal nambahin tanda tanya di belakangnya, gampang kan? Dengan demikian kan saya harus membalas lagi menanyakan maksud sms-nya. Ini maunya mau ngirit malah ngorot! Mau cepat jadi lambat. Mau ringkas malah bertele-tele. Sangat bertentangan sekali, saya kalau ketik sms selalu (saya usahakan) lengkap, jarang disingkat-singkat dan selalu pakai tanda baca, seperti koma, titik, tanda seru atau tanda tanya. Makanya saya paling ‘sengit’ sama ABG alay yang nulis sms pake huruf besar kecil naik turun dan singkatan-singkatan gak beraturan. Kurang kerjaan banget ya? Apa nggak pegel jempolnya?

Iseng-iseng buka-buka menu HP, saya menemukan hal (yang sebenarnya tidak) baru. Menu T9. Saya tahu ini sudah sejak lama dimana dalam pengetikan bahasa Inggris kita tidak perlu mengetikkan berulang-ulang pada tombol yang sama untuk satu karakter. Predictive text-nya sangat membantu kita supaya lebih cepat mengetik. Pun untuk T9 Bahasa Indonesia saya sudah tahu itu ada, namun saya tidak pernah mencobanya. Dan itulah bodohnya saya. Baru hari ini saya mencobanya dan saya rasa saya sangat menyukainya. Seolah-olah menemukan mainan baru yang menyenangkan. Kebiasaan saya menulis sms yang lengkap dan panjang-panjang ini sangat terbantu dengan menu T9 Bahasa Indonesia ini. Kenapa nggak dari dulu ya saya mencobanya? Menu ini seolah-olah merupakan jawaban atas keengganan saya yang terkadang sering muncul saat menulis sms. Rupaya selama ini saya telah dibuat susah oleh kebodohan saya sendiri.

Ternyata memang benar kata orang, kebodohan adalah sumber kemiskinan. Ada begitu banyak contoh ‘kebodohan-kebodohan’ yang menyebabkan kondisi merugi. Rugi waktu, tenaga, pikiran, materi, dll. Misalkan, karena kita tidak tahu cara yang benar mengoperasikan alat, maka alat itu rusak. Kita tidak tahu memperbaiki suatu peralatan yang sangat sederhana sekalipun maka kita harus beli alat baru atau paling tidak membayar tukang untuk memperbaikinya. Lebih mengerikan lagi karena ketiadaktahuan kita (baca: kebodohan) maka bisa menyebabkan kecelakaan.

Seberapa banyak dari kita yang tidak tahu, betapa ‘dahsyat’nya computer yang sehari-hari ada di depan mata kita? Dia bisa mengerjakan hampir apa saja, kalau kita tahu (baca: cerdas) memanfaatkan fitur-fitur di dalamnya. Kalau Anda berlanganan Indovision, perhatikanlah remote-nya, saya yakin ada banyak fitur yang kita tidak tahu kegunaannya. Yang paling nyata, HP terkini di tangan kita, begitu luar biasanya fitur-fitur di dalamnya bila kita bisa memanfaatkannya semua. Pertanyaannya, sudah cerdaskah kita menggunakannya? Kalau cuman untuk sms, telpon dan internetan, rasanya kita tidak butuh gadget yang harganya sampai juta-jutaan.

Daftar ketidakcerdasan saya rupanya harus bertambah lagi. Karena saya hobi fotografi saya punya dua buah kamera DSLR, dan kamera saya yang pertama saya miliki usianya sudah hampir lima tahun. Otomatis hari-hari saya geluti kamera itu, saya pelajari semua fiturnya, saya kuasai semua tombol-tombolnya. Namun anehnya, baru sekarang saya tahu bahwa camera saya itu mempunyai satu slot tempat menyimpan battery cadangan. Sebelemnya saya tidak tahu sama sekali. Itu pun yang memeberitahu adalah adik saya yang hendak meminjamnya. Selama ini yang saya tahu battery-nya di cemera ya cuman satu. Alangkah naifnya saya. Saya pernah uring-uringan mencari battery cadangan saya yang lenyap entah kemana, bahkan sampai saya beli battery cadangan baru, ternyata battery itu tidak kemana-mana, dia hanya ngumpet di body camera sendiri, di slot penyimpanan yang saya tidak tahu.

Bodoh atau kurang cerdas memang ada hubungannya dengan kurang teliti. Anak kita sebenarnya cerdas, tetapi bila di setiap menjawab soal ulangan tidak teliti, jangan salahkan kalau nilainya jeblok, bahkan bisa berakibat tidak naik kelas. Kalau sudah begitu, tentu saja orang lain bisa beranggapan bahwa anak kita bodoh. Sah-sah saja. Saya pernah juga tidak teliti menghitung uang kembalian yang ternyata kurang, dan saat itu juga saya merasa seperti orang bodoh yang tidak tahu cara menghitung uang. Kebodohan saya lagi, Saya pernah bahkan berulang kali salah membaca petunjuk jalan, sehingga saya harus tersasar dan buang waktu percuma. Tentunya ada banyak lagi daftar ketidakcerdasan saya, dan kalau saya tulis mungkin tidak cukup tempat di sini.

Ternyata bersikap teliti dan cermat itu harus dan perlu! Bukankah orang-orang yang dikatakan cerdas, pintar biasanya adalah orang yang tekun, cermat dan teliti? Saya jarang bahkan tidak pernah menjumpai orang yang ceroboh menjadi orang yang sukses, yang ada justru sebaliknya, orang ceroboh sangat dekat dengan masalah dan kemalangan. Dan rupanya sikap teliti, cermat, hati-hati itu bukan bawaan, dan sikap ceroboh itu bukan penyakit. Semua bisa dilatih dan dibiasakan. Salah satu caranya adalah dengan terbiasa memberi perhatian! Kita harus melakukan segala sesuatu dengan hati. Jangan asal lewat. Jangan masa bodoh. Kita menjadi ada sebagaimana ada adalah karena perilaku kita sehari-hari. Pastikan apa pun yang Anda kerjakan adalah hal yang berarti, bukan kesia-siaan. Pastikan kita menikmati semua apa yang kita lakukan. Jangan asal. Saya yakin, segala sesuatu yang kita kerjakan dengan hati, dengan sungguh-sungguh pasti berbuahkan keberhasilan. Dari buku yang pernah saya baca, bahwa salah satu resep kebahagiaan, sekali lagi, kebahagiaan! adalah menikmati semua yang sedang kita kerjakan.

Akhirnya, ada kutipan bagus sekali dari kitab suci; “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” – Kolese 3:23

Salam cermat dan teliti.



Selasa, 16 Agustus 2011

Mobil Mewah Mental Sampah

Jakarta, 15 Agustus 2011

"Contoh yang baik adalah nasehat terbaik." ~ Fuller

Senin pagi ini sama seperti hari Senin–hari Senin sebelumnya. Lalu lintas padat merayap, ah biasa… saya tidak akan mengeluh untuk itu. Galian kabel di bahu jalan yang membuat gundukan tanah berceceran dan licin waktu hujan pun tidak saya keluhkan. Pengemudi motor yang ‘slonong boy’… ah biarkan saja. Pengemudi mobil yang ‘maksain’ jalan berjejal ngambil jalan motor, mau diapakan lagi? Ya wis ora opo-opo, sing waras ngalah. Namun ada yang lain dari biasanya di Senin pagi di jalanan utama kawasan industri ini. Jalanan yang tidak bisa dibilang indah ini dipenuhi dengan bunga-bunga aneka warna. Di trotoar, di bahu jalan, di tengah jalan, di selokan. Ya, bunga-bunga sampah! Ah.. rupanya kemaren habis ada ‘pesta rakyat’ di sini.

Sebenarnya untuk negara ini hal tersebut tidaklah aneh. Saya sering menyaksikan sendiri, hampir di setiap acara yang mendatangkan massa yang besar, bunga-bunga sampah selalu bermekaran di mana-mana. Ada kertas koran, bekas botol/kaleng minum, gelas plastik, kantong kresek, bekas bungkus makanan, bungkus rokok dan masih buanyaaak yang lainnya. Perhatikanlah, setelah acara pertandingan-pertandingan olah raga, pertunjukan musik, sehabis acara lomba-lomba, kampanye-kampanye, bahkan sehabis acara religi di lapangan, sampah berserakan seolah-olah adalah pemandangan yang lumrah.

Ternyata sebenarnya saya tidak perlu jauh-jauh mengamati hal-hal di atas. Di lingkungan tempat tinggal saya yang secara geografis ada di pinggir kota, masih sejuk karena masih banyak pepohonan pun ternyata sudah mulai banyak sampah yang menumpuk bahkan berceceran di beberapa tempat. Tadinya jalan masuk gang tempat tinggal saya begitu sejuk, bersih dan adem, namun akhir-akhir menjadi begitu tidak nyaman karena ulah segelintir warga (lingkungan lain) yang seenaknya saja membuang bungkusan-bungkusan sampah di sekitaran situ, sehingga memancing orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dan kebetulannya lagi di lingkungan banyak kucing dan anjing yang berkeliaran, maka sudah dapat ditebak hasilnya, buntalan-buntalan itu ‘diodol-odol’ dan terhamburlah isinya. Harum baunya menyebar kemana-mana.

Untunglah kami masih mempunyai banyak warga yang ‘sadar’, pernah kita buatkan dan pasang papan peringatan untuk tidak membuang sampah. Namun tidak berumur lama, paling-paling cuman seminggu, bahkan papan pengumuman yang dibuat seadanya itu pun hilang entah kemana. Lenyap.

Di suatu kesempatan terkadang membuntuti sebuah mobil mewah ada asyiknya juga. Karena saya menyukai otomotif, paling tidak saya bisa mengamat-amati bentuk; bodynya, warnanya, undercarriage-nya, rodanya dan lain-lainnya. Dan paling tidak saya membayangkan kalau mobil ini dijual bisa dapat sepuluh buah mobil saya. Saking asyiknya membututi, saya lihat mobil di depan, jendela depan kanan tempat pengemudi dibuka dan, brrrr… sampah melayang keluar, bungkus lemper (kalau tidak salah) tergeletak di jalan. Tak lama berselang, jendela belakang kiri dibuka, keluar tangan kecil dan brrrr… kantong plastik bekas minuman lengkap dengan sedotannya terbang di trotoar. Rupanya jendela belakang sebelah kanan tidak mau ketinggalan, kaca diturunkan dan brrr… keluar sampah apa saya lupa.

Saya hanya bisa tersenyum dan bicara dalam hati. Kasihan sekali orang-orang ‘kaya’ dalam mobil mewah di depan itu. Ternyata mental-nya tidak sekaya mobilnya. Mungkin mereka sedang diburu waktu sehingga tidak sempat sarapan di rumah makanya makannya di jalanan. Mungkin mereka terlalu berhemat sehingga sayang kalau uangnya digunakan untuk membeli tempat sampah dalam mobil. Betapa sayangnya mereka kepada mobilnya sehingga tidak mau ada sampah di dalamnya. Kasihan anak-anak yang duduk di belakang itu, bukankakah seharusnya ia mendapat contoh dari ayahnya supaya tidak membuang sampah sembarangan bukan malah sebaliknya? Kasihan lingkunganku, mengapa terkotori justru oleh orang-orang yang seharusnya bisa diharapkan memberi contoh.

Saya teringat betapa saya sangat marah dan langsung menegur anak saya ketika ‘menyembunyikan’ bungkus permen di antara celah kasur dalam kamarnya. Saya ceritakan betapa Ayah sering lupa membawa bungkus permen di saku celana sampai ke rumah hanya gara-gara Ayah tidak mau membuang sampah sembarangan. Menyembunyikan sampah menurut saya adalah hal yang sangat kritikal, karena itu adalah masalah mental. Bila diteruskan akan sangat berpengaruh kepada watak dan kepribadiannya. Kalau dibiarkan, bisa sangat mungkin nantinya anak saya akan terbiasa ‘menguntil’, menyembunyikan yang bukan hak-nya, mengambil yang bukan hak-nya, terbiasa melakukan hal-hal buruk di saat tidak dilihat orang. Menurut saya salah satu penyebab mengapa orang korupsi adalah dari semenjak kecil mereka sudah ‘terbiasa menyembunyikan’ apa-apa yang bukan haknya! Melakukan hal-hal tercela saat tidak dilihat orang!

Pemda DKI boleh-boleh saja membuat aturan, bahwasanya barangsiapa yang ketahuan membuang sampah sembarangan bisa dikenakan denda antara Rp100.000 – Rp2.000.000 (Perda DKI Jakarta tentang Keteriban Umum No. 8 tahun 2007 Pasal 21 ayat b), namun selama penegaknya, tim disiplinnya hanya anget-angetan maka peraturan hanya menjadi kertas bungkus gorengan saja. Perilaku jorok warga yang sudah mendarah daging ini hanya bisa diatasi bila aturan dengan tegas dilaksanakan, bukan tebang pilih dan anget-anget tahi ayam. Harus disosialisasikan dan diterapkan dengan gencar! Perlu pemimpin yang tegas untuk itu! Pemimpin yang konsisten!

Bagi kita, jangan terlalu menuntutlah. Jangan bilang; nggak ada tempat sampah lah, nggak ada lahan untuk buang sampah lah, dan lain-lain. Yakin, kalau kita mau pasti ada jalan. Pasti ada cara kalau kita niat. Seorang ibu tua tetangga saja selalu mengumpulkan sampah rumah tangganya dan membakarnya tiap sore di lahan kosong dekat rumahnya. Yang menjadi masalah adalah kemalasan kita, rendahnya kesadaran kita, rendahnya penghargaan kita terhadap orang lain dan lingkungan. Dan itu bukan salah penjajah (yang selalu jadi kambing hitam) mewariskan budaya, itu adalah salah kita. Bagaimana mungkin seorang ayah/ibu membuang sampah sembarangan keluar mobil di depan anak-anaknya?

Masak sih, kalau mau lingkungan bersih dan nyaman warganya harus di bawa ke Singapore atau Jepang? Sudah terlalu parahkah mental bangsaku? Tidak! Saya yakin tidak! Masih terlalu banyak bangsaku yang baik, yang sadar peduli lingkungan. Paling tidak itulah pikiran positif yang selalu saya tanamkan di otak saya. Itulah optimisme saya. Meskipun pada kenyataannya, membuat sampah bertebaran sepanjang jalan masuk kawasan seperti pada pagi hari tadi jelas-jelas sangat tidak mungkin dilakukan oleh segelintir orang. Kekuatan massal yang bisa begini. Ah… betapa beratnya memimpin negeri ini.

Salam hidup bersih!

Rabu, 10 Agustus 2011

JANGAN TABRAK PANTAT-KU

“Your negative attitude can kill others”

Jakarta, 10 Agustus 2011

Akhir-akhir ini lalu lintas pada sore hari terutama saat menjelang buka puasa menjadi begitu padat. Mungkin karena hampir semua jam pulang kantor yang dimajukan seperti kantor saya yang jam pulang resminya jam 16.30 WIB, menjadi 16.00 WIB. Kebiasaan warga yang ngabuburit juga sudah pasti menambah ‘semarak’ jalan-jalan kota besar. Di beberapa ruas jalan bahkan muncul pedagang-pedagang dadakan, dari mulai sandal plastik sampai obeng sepuluh ribu tiga. Dari mulai baju bergambar Upin-Ipin sampai es kolak biji salak.

Saya pun menikmati pulang sore (yang sedikit agak awal dari biasanya) ini. Macet sudah sangat biasa bagi warga Jakarta, tidak ada yang perlu dikeluhkan. Karena dengan mengeluh selain buang energi tak berguna justru merugikan diri sendiri. Jadi saya belajar mengelola pikiran saya untuk tidak mudah menjadi stress hanya karena gara-gara macet. Orang-orang yang menawarkan jajanan di gerobaknya, pengendara-pengendara motor tanpa helm yang ‘keliahatannya’ sengaja memperlambat lajunya, klakson mobil yang tiada henti, asap hitam metro mini, raungan knalpot bajaj bagi saya merupakan orkestra kehidupan yang nyata keindahnya. Pertunjukkan seni hidup ‘yang mungkin’ hanya ada di negeri ini.

Di tengah hiruk pikuknya ‘keindahan’ itu, seharusnya saya terganggu dengan ulah seorang pengendara motor berjaket merah bertuliskan INDONESIA--jacket pendukung Timnas--pikirku. Dia mainkan motor maticnya slonong sana-slonong sini, nyerobot sana-nyerobot sini, motong sana-motong sini, terlebih dia membawa anak kecil yang diberdirikan di tengah sementara ibunya memeganginya dari belakang, semuanya tidak pakai helm. Hebat bukan? Motong dan dipotong di jalan raya mungkin sudah bisa, namun dipotong secara kasar bisa saja siapa saja marah. Termasuk saya. Sebenarnya bisa saja saya mengejarnya terus memelototinnya, atau bahkan memakinya, toh motor saya tidak kalah tenaga untuk menyusulnya. Atau saya diamkan saja, dengan memendam rasa jengkal dan kesal. Pilihan ada di tangan saya untuk bereaksi. Namun saya sadar betul bahwa sikap atau reaksi saya menentukan hidup saya selanjutnya, maka saya tidak boleh salah memilih reaksi.

Ternyata saya tidak memilih keduanya. Kalau saya pilih yang pertama, berati saya sama ‘bodoh’nya dengan dia. Lalu apa bedanya? Saya akan mengejarnya, akan membahayakan nyawa saya dan orang lain, dan sudah pasti orang lain juga akan kesal kepada saya. Kalau sudah terkejar, lalu apakah saya akan ribut dan berantem? Ah… konyol, bukan aku banget kalau seperti itu. Pilihan kedua sebenarnya ‘lumayan’ baik dan disarankan banyak orang, membiarkan saja, kalau nabrak atau jatuh kan urusan dia. Tidak ada yang rugi dari saya. Namun juga saya tidak memilih sikap atau reaksi yang kedua ini.

Saya memilih menentukan sikap saya sendiri dengan mengelola pikiran saya sendiri. Saya memutuskan untuk membiarkan saja, dan memikirkan hal yang positif. Jadi waktu itu saya berkata dalam hati, “Ah, kasihan si mas itu, mungkin saja dia lagi kebelet sehingga naik motor bisa seperti itu, semoga dia cepet samapai rumah dengan selamat dan bisa segera membuang hajatnya.” Saya memutuskan untuk memikirkan itu karena saya ingin membahagiakan diri saya sendiri. Saya tidak ingin mengumpat, memendam kejengkelan, atau bahkan menyimpan kedongkolan itu berlama-lama di pikiran saya. Ternyata saya bisa bahagia dengan mengelola pikiran saya. Dan memang benar kata orang bijak, bahagia atau tidak adalah sebuah keputusan!

Kembali ke motor tadi. Memang tak seberapa lama motor itu meghilang di depan, ditelan padatnya ribuan kendaraan dan saya sudah tidak memikirkannya lagi karena itu tadi, saya sudah memutuskan untuk berbahagia. Saya nikmati lagi betapa padatnya jalan Jatiwaringin ini, betapa ‘kayanya’ orang-orang ini dengan model-model mobil terkininya, betapa semangatnya muda-mudi yang ganteng dan cantik menawarkan paket soft drink-nya, betapa ‘hangat’nya berdesakkan dalam Metro Mini itu. Sampai akhirnya tak terasa perjalanan saya sampai ujung ruas jalan ini dimana kepadatan semakin nyata karena ada pasar di sana.

Saya tidak tahu kenapa motor yang mendahului saya tadi, mendahului saya lagi di sini. Ah, mungkin dia tadi mampir sebentar untuk beli jajan pikirku, paling tidak begitulah karena saya tidak merasa menyalipnya tadi. Masih ‘hebat’ juga cara nyalibnya, zig-zag kanan kiri, meliuk-liuk mendahului mobil dan motor lain. Benar-benar raja jalanan! Namun tak lama kemudian terdengar suara berdencit keras, suara gesekan aspal dengan ban dan…. BRAKKK!!!!... Sang ‘jagoan’ tadi menabrak belakang motor lain di depannya. Si Bapak di depannya rupanya berhenti mendadak karena angkot yang di depannya berhenti mendadak juga, sementara ‘jagoan’ kita yang jalannya ‘pecicilan’ tadi meskipun menginjak rem kuat-kuat tetap saja tidak dapat menghentikan laju motornya. Si Bapak jatuh tertimpa motornya, ‘jagoan’ kita berkostum merah tadi rupanya cukup gagah menahan motornya sehingga tidak ambruk. Syukurlah anak isterinya tidak terluka. Hanya bapak yang ‘ditabrak dari belakang’ tadi yang kelihatannya meringis Manahan sakit.

Really Indonesia! Inilah bangsaku! Lagi-lagi saya harus menyaksikan perilaku bangsaku yang aneh dan pemarah ini. Bukannya menolong dan meminta maaf kepada si Bapak yang ditabraknya tadi, si ‘jagoan’ neon kita ini justru marah-marah dan membentak-bentak Bapak yang jatuh ‘krengkangan’. Dia malah menyalahkan si Bapak itu yang berhenti mendadak katanya. Amarahnya meledak seolah-olah olah dia yang paling benar dan menantang Bapak itu untuk berduel. Kasihan Bapak itu, justru dia yang kelihatannya ketakutan. Kejadian itu kontan membuat macet total jalanan. Para tukang becak dan tukang ojek ramai mengerubuti, ada yang menolong tapi ada juga membakar, memprovokasi supaya kalau mau ribut dan berantem di pinggir saja. Saya sebenarnya tidak peduli kepada ‘‘jagoan’’ tadi. Saya hanya kasihan kepada si Bapak, anak kecil dan ibunya tadi. Untunglah mereka semua tidak apa-apa.

Saya segera meninggalkan kejadian tadi, karena jika saya ikutan nonton justru saya menambah parah macet jalanan. Sambil terus berjalan saya terus berpikir, dan semakin menambah daftar saya tentang tabiat bangsa ini yang pemarah, angkuh, mau menang sendiri, dll. Bukankah menabrak dari belakang adalah salah? Mau beralasan apa pun yang namanya nabrak dari belakang ya tetap saja salah! Nabrak belakang bukti bahwa si penabrak tidak bisa memperhitungkan jarak, si penabrak tidak menguasai kendaraannya, si penabrak tidak menguasai medan, si penabrak tidak bisa memperkirakan kemampuan remnya. Masih terlintas di benak saya betapa pongahnya ‘jagoan berjacket’ Timnas tadi marah-marah di tengah jalan, menantang si Bapak yang kepayahan.

Gara-gara jacket yang dikenakannya tadi pikiran saya langsung melompat ke pertandingan sepak bola. Pikiran saya segera bisa membuat keputusan sendiri. Andaikan terjadi kerusuhan/keributan (yang memang biasanya sering terjadi) pada setiap pertandingan sepak bola kita, saya yakin si ‘‘jagoan’’ kita tadi pasti salah satu pelakunya. Ah… semoga saja pikiran saya ini salah.

Mau dibawa kemana Negara ini kalau perilaku bangsanya seperti itu? Kok ya bisa bertingkah seperti itu di depan anak dan istrinya. Kenapa musti membiasakan menyuguhkan kekerasan, kebrutalan, kemarahan, kesewenang-wenangan di hadapan meraka yang masih polos? Bukankah watak terbentuk karena kebisaan-kebiasaan? Jangan salahkan kalau karakter anaknya mulai terbentuk karena kebiasaan yang orang tuanya ajarkan, bukankah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya?

Karena saya berusaha perpikir positif, saya cuman bisa berharap semoga kejadian itu tadi adalah kejadian yang terakhir kali, terlebih ini kan bulan ‘suci’? Saya tidak mau pesimis bahwa bangsaku tidak bisa berubah. Pasti bisa! Namun (lagi-lagi) saya harus tetap sadar, bahwa merubah watak itu susah setengah mati. Pagi tadi saya melihat (lagi-lagi) di sebuah motor menabrak belakang mobil dan langsung kabur meninggalkan pengemudi mobil yang tolah-toleh terlihat jengkel tak tahu harus berbuat apa di tengah padatnya lalulintas Kalimalang. Inilah Indonesia!

Salam,

Jangan tumbur pantat saya, ya….!!