Halaman Blog ini

"SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA KAWAN"

Selamat datang di website saya kawan. Mari kita berbagi! Berbagi ilmu, berbagi rasa, berbagi pengalaman, berbagi materi atau berbagi apa saja. Kita isi kehidupan ini dengan hal-hal yang positif, yang bermanfaat, yang membangun bagi diri sendiri dan sesama. Mari kita wujudkan Indonesia yang damai sejahtera, mulai dari diri kita, mulai saat ini, atau tidak sama sekali! Salam Damai Indonesia.

Sabtu, 17 November 2012

MAS… AWASSSS!!!!!


Dibuang sayang. Sebuah kisah yang diunggah kembali, dalam rangka program K3LH perusahaan. Semoga bermanfaat


Jakarta, November 2012

Peristiwa ini sebenarnya terjadi sudah lama sekali, kurang lebih limabelas tahun yang lalu, tetapi tidak pernah saya lupakan karena nyaris saja terjadi kecelakaan yang mungkin saja dapat merubah jalan cerita hidup saya.

Waktu itu saya mengantar isteri dan anak-anak ke bandara Palembang untuk kemudian mereka terbang ke Jakarta. Kejadiannya adalah pada saat perjalanan pulang menuju Tg. Enim sekitar pukul 17.00 WIB. Karena perjalanan cukup lama sekitar empat jam, maka saat  itu saya sengaja mengajak seorang teman untuk teman mengobrol saat pulang. Perjalanan luar kota membuat saya mengemudikan mobil dengan cukup kencang. Saat di tengah perjalanan saya menerima sms dari isteri saya yang mengabarkan bahwa mereka telah sampai dengan selamat di rumah di Jakarta.

Namun, tengah asyiknya saya ber-sms, tiba-tiba teman di sebelah saya teriak dengan keras sekali, “Masss…Awasss!!!!!” Saya kaget setengah mati. Secara refleks saya injak rem kuat-kuat! Rupanya tepat di depan saya ada sepeda motor yang melambatkan jalannya dan hampir saja saya tabrak dari belakang. Untung saja motor tidak tertabrak. Langsung badan saya terasa lemas, tak bisa dibayangkan bila tidak ada teman saya di sebelah, mungkin motor itu saya tabrak dengan sekencang-kencangnya, dengan tanpa ampun.

Sungguh pengalaman yang sangat berharga, dan saya dapat ambil hikmahnya sbb:

  • Otak manusia tidak dirancang untuk multitasking. Sejatinya kita hanya bisa berfokus ke salah satu hal saja. Bila kita merasa bisa melakukan banyak hal dalam satu kesempatan, sejatinya kita sedang memikirkan yang satu, kemudian berpindah pikiran ke hal yang lain. Oleh sebab itu, jangan pernah menelpon, atau SMS saat berkendara! Titik! Sejago-jagonya kita mengemudi, suatu saat pasti ada lengahnya juga! Hal ini juga termasuk bila kita menggunakan handsfree. Sebab bukan masalah pakai handsfree atau tidak, melainkan masalah konsentrasi kita yang terpecah saat mengemudi/berkendara sambil menelpon.

  • Hindari mengemudikan kendaraan dalam jarak jauh dengan tanpa teman. Sebab seorang teman yang menyenangkan di perjalanan dapat menjadi pemandu, pengingat, penghibur, serta sebagai ‘pengontrol’ bila kita cenderung melakukan kesalahan. Hal ini tidak berlaku bagi teman seperjalanan yang penidur tentunya. J

  • Pastikan kondisi kendaraan kita prima, sehingga bila terjadi hal-hal darurat, masih ada kemungkinan mengatasinya.

  • Meskipun dalam kejadian tabrak belakang, kendaraan yang di depan adalah pihak yang tidak bersalah, namun kalau sudah kejadian, semuanya pasti sama-sama rugi. Untuk itu terapkanlah DEFENSIVE DRIVING saat mengemudi/berkendara! Untuk mengantisipasi tabrak belakang, pastikan: jarak aman beriringan, selain itu pastikan lampu belakang dan lampu rem kita juga berfungsi dengan baik.

Dari peristiwa di atas, saya sangat menyarankan kepada kita semua supaya tidak merasa sok hebat dengan mengemudi/ berkendara sambil menelpon atau SMS. Sebab sudah banyak sekali kejadian incident yang diakibatkan oleh hal ini. Kalau memang terpaksa harus menelpon atau SMS, menepilah di tempat yang aman dan berhenti!


Demikian cerita lama saya, semoga bermanfaat.

Kamis, 15 November 2012

MENGHITUNG BERKAT





“Daripada menghitung kesulitan Anda, cobalah menjumlah berkat-berkat yang telah Anda terima.” – Geoffrey Still


Solo, November 2012

Pisau terbang

Saya ingat dengan jelas kejadiannya, tetapi saya jelas lupa persis kapan-nya. Kurang lebih tigapuluh sampai tigapuluh lima tahun yang lalu, saat saya usia sekolah dasar, ya mungkin sekitar umur enam atau tujuh tahunan. Sore itu di teras, di depan jendela rumah bulik, saya sedang asik mengamati bapak yang sedang memangkas rumput dengan menggunakan sebilah bambu dengan mata pisau lengkung yang diikatkan pada bagian ujungnya. Saya mengajak Anda untuk membayangkan; seperti melihat orang yang sedang main golf, stick-nya adalah bambu dan kepalanya adalah pisau, begitulah kira-kira gambarannya bapak mengayunkan bambu, membabat habis rerumputan di halaman. Memang, waktu itu adalah hari-hari persiapan menjelang pernikahan bulik saya, sehingga semua orang bersibuk ria berbenah, termasuk bapak saya.

Jarak kami—saya dan bapak—sekitar lima sampai enam meteran, cukup aman sebenarnya untuk “menonton” aktifitas bapak bersemangat mengayunkan “stick” bambunya, namun jelas sangat tidak aman untuk sebuah pisau terbang. Namun itulah faktanya, pada ayunan yang kesekian kalinya, pisau di ujung bilah bambu bapak lepas dan dengan sangat cepat melayang tepat ke arah saya. Sudah pasti tidak ada kesempatan bagi saya untuk berpikir, namun sangat jelas bahkan sampai sekarang masih terbayang, gerakan pisau itu meluncur dengan demikian cepatnya tepat menuju muka atau tepatnya kening saya. Dan kalau sekarang saya masih bisa menulis kisah ini, karena memang pisau itu tidak mengenai muka atau kening saya; bilah pisau itu tepat menancap di frame kayu jendela persis di belakang kepala saya. Bukan pisaunya yang meleset, tetapi saya yakin ada “Tangan Yang Dahsyat” yang menarik kepala saya untuk menghindar. Ya, orang lain akan mengatakan itu gerakan refleks saya, tetapi saya lebih berpendapat itu adalah mujizat dari Tuhan. Saya tak hendak menghiba Anda, namun Anda dan saya pasti bisa membayangkan, bila tidak ada campur tangan dari “Tangan Yang Dahsyat” itu, sebuah pisau yang menghujam muka seorang anak kecil, dan pisau itu terlempar dari tangan bapaknya sendiri adalah kejadian yang sangat mengerikan. Yang saya tahu saat itu, bapak saya segera berlari dan memeluk saya dengan raut muka yang tak bisa digambarkan.


Angin Duduk

Masih di usia sekolah dasar, ada kejadian yang masih saya ingat sampai sekarang. Bapakku adalah seorang pekerja keras. Tiada waktu senggang yang dilewatinya dengan tanpa bekerja. Saat senggang di rumah pun diisinya dengan aktifitas apapun yang bermanfaat. Entah itu memperbaiki rumah, kendaraan, peralatan, membersihkan halaman, saluran air, dan lain sebagainya. Meskipun tidak berpendidikan tinggi, boleh dikata bapak bisa mengerjakan apapun. Bukan karena ahli, tetapi oleh kemauan yang kuatlah yang membuat beliau bisa meskipun terkadang dengan pengetahuan seadanya. Oleh sebab itulah saya sebagai anak laki-laki dan pertama sudah terbiasa membantunya bekerja dari sejak kecil.

Kisah yang satu ini bermula ketika siang hari sepulang sekolah bapak menyuruh saya membereskan/menggulung kabel sambungan lampu yang masih lengkap dengan fitting lampu yang telah dilepas lampunya serta “stecker” yang masih terhubung di stop contact. Sisa kerja semalam yang belum sempat dibereskan. Saat itu bapak tengah asik menyemen, entah menyemen apa saya lupa, dan saya membereskan kabel dan mulai menggulungnya.

Namun entah mengapa, tanpa sengaja jari saya masuk ke dalam fitting lampu yang terbuka tersebut. Serta merta arus listrik menyengat, mengalir ke sekujur tubuh saya, dan saya tidak kuasa melepasnya. Jari saya bukan saja seolah lengket di dalam fitting lampu tersebut, tetapi memang benar-benar lengket tak bisa dilepas. Saya hanya bisa berteriak dan  terjatuh menggelepar di atas gundukan pasir adukan dengan tangan masih ‘tertanam’ di fitting kejam itu. Saya lupa rasanya bagaimana, tetapi yang jelas tubuh saya kaku dan kejang-kejang, dan sakit sekali. Untung saja bapak yang masih bekerja di dekat situ segera berlari dan ‘menyambar’ kabel tersebut sehingga lepas. Memang saya belum sempat pingsan, tetapi saya merasakan badan saya begitu lemas dan tangan saya panas terbakar. Memang jari saya yang masuk ke fitting tersebut hangus membiru.

Demi mendengar kegaduhan itu, para ibu-ibu yang ada di warung depan—karena waktu itu ibu berjualan di warung depan—segera berlarian ingin melihat, namun yang didapatinya saya sudah tergeletak tak berdaya dibopong bapak. Anehnya ada seorang ibu yang shock dan langsung pingsan melihat kondisi saya. Masih terekam di otak saya, bahwa saat kejadian tersebut mereka banyak yang memperbincangkan atau mengira bahwa saya terkena “angin duduk”—istilah orang jawa untuk menggambarkan kondisi seseorang yang pingsan atau koma secara mendadak yang dikarenakan kelelahan atau masuk angin. Memang saat kejadian tersebut saya belum makan siang sepulang sekolah. Lagi-lagi, saya diselamatkan oleh “Tangan Yang Dahsyat” meskipun dalam wujud tangan bapak. Saya bisa membayangkan, bagaimana jadinya semisal tidak ada tangan tersebut, pastinya saya tidak bisa menulis malam ini.


Pintu Air Kampung Kali

Pada masanya, bersepeda berangkat ke sekolah itu memang menyenangkan, selain banyak teman yang jelas juga bisa menghemat uang. Sewaktu SMP saya harus menempuh lebih dari sepuluh kilometer bersepeda pulang pergi setiap hari. Namun pengalaman bersepeda hari itu adalah pengalaman yang luar biasa yang tak terlupakan  dalam hidup saya.

Pagi itu, saya—yang waktu itu masih kelas satu SMP—seperti biasa mengendarai sepeda mini berangkat ke sekolah. Perjalanan saya bersepeda waktu itu mengharuskan saya menggunakan jalan pintas menyeberangi sungai “Kampung Kali Semarang”. Jalan pintas itu sebenarnya adalah dinding/tembok/pembatas pertemuan dua sungai yang yang cukup lebar, dimana di bawah dinding tersebut ada pusaran air yang cukup deras dan dalam. Konon sungai itu—yang selanjutnya disebut kampung kali—adalah sungai peninggalan jaman penjajahan Belanda. Namun karena hampir setiap hari kami melintasi jalan pintas tersebut, jadi meskipun sebenarnya cukup berbahaya, kami anak-anak remaja kecil tidak merasa takut sama sekali.

Namun tidak untuk pagi itu. Ketika kami bersepeda beriringan menyeberang, posisi  kami sangat dekat sekali dengan bibir sungai. Salah seorang teman yang berada di depan entah mengapa secara mendadak menghentikan sepedanya sehingga mau tidak mau membuat semua barisan sepeda di belakangnya harus tarik rem dan berhenti. Kurang beruntung bagi saya, karena posisi saya terlalu dekat dengan bibir sungai, maka saat berhenti mendadak tersebut spontan kaki saya turunkan dari pedal. Namun bukannya tanah yang saya injak, kaki kiri saya menjejak ruang hampa tepat di atas air di bibir sungai tersebut. Tak ayal lagi saya terjungkal ke sungai lengkap dengan sepeda mini kesayangan saya. Saya tahu pasti bahwa saat itu saya belum bisa berenang. Saya merasakan bahwa saya tenggelam dan tersedot jauh ke dalam pusaran. Saya tidak ingat bagaimana posisi saya waktu itu, namun yang saya tahu dengan pasti bahwa saat itu saya tidak/belum menyentuh dasar sungai yang hitam legam itu.

Keajaiban kembali terjadi. Saya merasakan ada sebuah “Tangan Yang Dahsyat” yang manarik saya ke atas. Kalau tangan manusia rasanya tidak mungkin karena saya merasa saya tenggelam cukup dalam yang seharusnya tak terjangkau oleh tangan manusia biasa. Faktanya saya tertarik ke atas, dan tangan seorang bapak mengangkat saya keluar dari air. Saya kembali selamat! “Tangan Yang Dahsyat” itu berwujud tangan seorang bapak yang saya sendiri tidak tahu siapa dan dari mana tiba-tiba dia bisa datang. Saya terpekur di pinggir sungai, belum bisa memahami apa yang terjadi dan tidak tahu harus berbuat apa. Saya melihat beberapa orang dewasa mengulurkan sebuah bambu yang sangat panjang, mengaduk-aduk dasar sungai dan akhirnya menemukan yang mereka cari, ya sepeda mini saya diangkat keluar dari air. Saya yakin panjang bambu itu lebih dari empat atau lima meter. Bisa dibayangkan betapa seorang anak kecil terjun ke pusaran sungai sedalam itu lengkap dengan seragam, tas sekolah dan sepedanya.

Hari-hari selanjutnya, berita “terjunnya” saya ke sungai tersebut menjadi berita yang menghebohkan di sekolah. Karena memang beberapa waktu sebelumnya ada berita sering terjadi ada anak yang tercebur ke dalamnya dan ditemukan jasadnya sudah tidak bernyawa lagi.


(Bukan) Helm “Bathok”

Peristiwa dramatis rupanya tidak hanya terjadi waktu saya duduk di bangku SD ataupun SMP. Bisa bersepeda motor semasa SLTA adalah sesuatu hal yang sangat menggembirakan waktu itu. Dan mungkin merupakan hal yang wajar bila saat-saat itu kita sering memacu motor di jalanan. Berbekal sedikit ilmu dari bangku sekolah kejuruan, saya meng-oprek motor saya dengan harapan bahwa motor saya bisa lebih kencang melaju. Dan sebagai akibatnya, tidak jarang saya harus jatuh bangun sendiri karena cara mengendara yang “ceroboh dan ugal-ugalan”. Sering sekali saya tertangkap polisi karena kondisi motor yang tidak lengkap atau melanggar rambu. Dan karena saya tidak punya cukup uang untuk membayar oknum polisi tersebut, tidak jarang saya harus mengikuti sidang di pengadilan. Anehnya, alih-alih merasa malu dan kapok, saya justru merasa bangga di hadapan teman-teman bahwa saya sering tertangkap polisi kerana melanggar.

Suatu siang sepulang sekolah, waktu itu saya memboncengkan seorang teman hendak menuju tempat les gitar, guna manyelesaikan proses administrasi. Dan seperti biasanya, saya mengendarai motor dengan pongah dan tanpa mengenal kata sopan. Saya melintasi jalan kampung kali—jalan yang sama dimana saya pernah ‘terjun” ke sungai seperti yang saya ceritakan di atas. Karena jalan itu memang satu arah, maka saya “merasa aman” dengan melaju kencang di sisi sebelah kanan, sampai akhirnya sebuah sepeda penyeberang jalan tiba-tiba memotong jalan saya, dan saya tidak sempat sedikit pun untuk mengerem. Brakkk…!!! Benturan keras terjadi, saya terpental jauh ke depan melewati motor saya dengan kepala membentur aspal.

Seketika saya memang bisa bangun, namun saya tidak sadar apa yang terjadi. Saya shock! Saya baru sadar setelah seseorang menegur saya dan menanyakan, jam tangan saya kemana? Rupanya saya telah menabrak penyeberang bersepeda. Rupanya teman saya hidungnya berdarah. Rupanya gadis penyeberang tersebut terkapar dengan hidung bercucuran darah. Rupanya saya tidak terluka parah, hanya sedikit memar di tangan. Rupanya seseorang telah merampas jam tangan saya saat  shock tadi. Rupanya motor saya tidak terlalu parah. Rupanya helm yang saya pakai terbelah menjadi dua, ya rupanya kepala saya masih utuh dan saya diselamatkan lagi.

Helm “bathok” adalah istilah helm yang terbuat dari plastik tipis, nyaris setipis ember, mudah pecah, bukan half face apalagi full face. Helm ini hanya berbentuk setengah lingkaran seperti layaknya bathok kelapa dan sangat tidak bermutu, bahkan gabus di dalamnya saja tidak ada. Jauh dari kualitas helm SNI. Namun saat itu, saat peraturan keselamatan berlalu lintas belum seketat sekarang, helm model inilah yang paling banyak digunakan oleh orang-orang. Helm ini ringan! Itulah alasannya. Bahkan tak jarang banyak yang memakainya dengan tanpa mengkatkan talinya, jadi fungsinya tak lebih dari sebuah topi saja, makanya tak heran bila kita sering menyaksikan helm tersebut terbang saat dipakai jalan. Dan helm itulah yang hari-hari saya kenakan.

Namun tidak untuk hari itu. Ada sebuah “Tangan Yang Dahsyat” yang menuntun saya untuk mengenakan “helm lain”, helm yang lebih baik dan bermutu. Dan “Tangan Yang Dahsyat” itu juga yang menuntun saya untuk menguncikan talinya. Sungguh di luar kebiasaan saya. Sehingga pada saat kejadian di atas, alih-alih kepala saya yang terbelah, justru helm yng cukup keras tersebut yang terbelah melindungi saya. Pengalaman saya tersebut telah mengubah mindset saya tentang kesadaran menggunakan helm standard yang baik. Ya, “Tangan Yang Dahsyat” itu sudah menyediakan helm yang baik sehingga saya masih  ada dan sampai menulis kisah ini.


Truk Gandeng Banting Steer

Kejadian “dahsyat” berikutnya terjadi saat saya sudah bekerja dan mampu membeli mobil sendiri. Sebagai anak muda yang sudah berpenghasilan sendiri, saya merasa sangat wajar bila saya menjalin hubungan yang lebih serius dengan kekasih saya—sekarang isteri tercinta—waktu itu. Mobil minibus kecil itu tidak “berhidung” dan sangat sederhana, namun bagi saya itu sudah cukup bagus karena sesuai fungsinya bisa mengantar saya bahkan sampai kemana-mana.

Hanya berbekal rindu dan nekat, pada saat cuti saya memacu mobil tersebut sendirian dari Semarang ke Jakarta, tempat jantung hati saya berada. Dan seperti biasa, jiwa muda serta kepongahan saya, mengalahkan akal sehat saya. Dengan tanpa memperhatikan keselamatan dan etika berkendara saya memacu mobil tersebut semau kaki saya menginjak pedal gas. Zig-zag kanan kiri, serobot kanan-serobot kiri. Saat ini saya bisa membayangkan, mungkin saat itu pengguna jalan lainnya merasa kesal dan jengkel terhadap perilaku saya di jalan raya.

Sampai pada akhirnya, pada saat kondisi padat merayap di Pantura, di seputaran Cirebon, saya nekat menyalip sederetan mobil yang panjang yang berjalan relative lambat, menguntit dengan sebegitu rapat di belakang beberapa bus yang juga nekat menyalip. Bagaikan gajah dan kambing, setidaknya begitulah membandingkan ukuran mobil saya dibandingkan dengan bus di depan saya. Saya tidak bisa melihat kondisi di depan bus, karena memang badan bus yang bongsor itu menutupi hampir separuh jalan. Sampai pada akhirnya bus di depan saya memberikan tanda lampu sein ke kiri, dan memaksa masuk ke deretan panjang mobil di sebelah kiri, dan mungkin karena besarnya akhirnya bus di depan saya tersebut bisa masuk ke jalur kiri, ke jalur yang sebenarnya. Tinggallah saya sendirian di jalur kanan berhadapan muka dengan sebuah truck gandeng yang melaju dengan kencang ke arah saya. Saya banting steer ke kiri, namun deretan kendaraan di sebelah kiri terlalu rapat untuk bisa memberi ruang kepada saya, jadi saya tetap tertahan melaju di sisi kanan jalan, sementara truck di depan saya melaju semakin dekat! Saya injak rem kuat-kuat tetapi mungkin karena terlalu kencang, mobil saya tak bisa dihentikan secara mendadak.

Jantung saya seolah berhenti berdetak demi melihat truck yang besar itu melaju kencang ke arah mobil mungil saya. Saya tidak berkutik! Saya shock setengah mati! Namun kembali ‘keajaiban’ terjadi, truck berkecepatan tinggi tersebut tiba-tiba banting steer ke kiri, bahkan sampai turun ke bahu jalan. Bisa dibayangkan truck tersebut turun di bahu jalan yang kasar dengan kecepatan yang masih tinggi sehingga menimbulkan suara gemuruh yang luar biasa. Saya bisa merasakan ada “Tangan Yang Dahsyat”yang membanting steer truck tersebut ke kiri sehingga saya terhindar dari tabrakan fatal.

Setelah lepas dari tabrakan maut itu, saya segera menepikan mobil saya. badan terasa lemas lunglai, saya shock berat. Saya mereka-reka apa yang baru saja terjadi. Betapa bodohnya saya, betapa sembrononya saya, betapa saya merasa menjadi orang yang paling dungu sedunia. Betapa saya begitu naïf menguji Tuhan.  Kembali saya mengajak Anda untuk membayangkan, jika mobil mungil saya—dimana jarak pengemudi dan dinding depan tidak sampai satu meter—yang ‘terpergok’ tak berkutik di sisi kanan jalan berhadapan langsung dengan truck gandeng yang mungkin kesulitan juga mengurangi lajunya. Apa yang terjadi bila “Tangan Yang Dahsyat” itu tidak kembali menolong saya?


“Tangan Yang Dahsyat” itu masih ada

Tiba juga rupanya pada bagian akhir tulisan saya ini. Kejadian-kejadian ‘dramatis’ yang saya alami di atas adalah sebagian kecil dari kejadian-kejadian dramatis lainnya yang saya mungkin sudah tidak ingat lagi. ada banyak, bahkan terlalu banyak mungkin bila harus diceritakan satu per satu. Belum lagi hal-hal yang kelihatannya sepele, “Tangan Yang Dahsyat” itu selalu menolong, menopang, mengangkat dan menyelamatkan saya.

Lalu, kalau sedemikian hebat “Tangan Yang Dahsyat” itu menolong saya, masakan saya melupakan begitu saja? Masakan saya mengeluh, berputus asa, mengomel hanya perkara-perkara sepele. Masakan saya harus menghitung kesulitan-kesulitan hidup ini, sementara berkat keselamatannya benar benar nyata di hidup saya? Sungguh tiada banding berkat-berkatnya. Siapakah “Tangan Yang Dahsyat” itu? Yah, Anda benar! Tangan itu adalah Tangan Tuhanku yang penuh kasih.

Sedemikian dahsyat pengalaman tersebut bagi saya pribadi, menjadikan saya sadar, bahwa dalam hidup ini memang diperlukan kehati-hatian dalam melakukan segala sesuatu. Kita harus benar-benar sadar, paham, dan mengerti apa yang sedang kita lakukan; apa tujuan hidup kita dan bagaimana seharusnya kita mencapainya. Kita tidak bisa hidup semaunya sendiri di tengah dunia yang sangat kompleks ini. kita tidak boleh menyia-nyiakan hidup yang Tuhan sudah berikan kepada kita. Biarkan pengalaman-pengalaman “mengerikan ini” biar saya saja yang mengalami, Anda tidak perlu mengalaminya. Mari jadikan hidup ini berarti. Bersama dengan “Tangan Yang Dahsyat” kita bisa!