Dunia ini menjadi tempat yang sangat indah dan nyaman dihuni bila kita bisa menerima orang lain sebagaimana adanya.
Halaman Blog ini
"SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA KAWAN"
Jumat, 29 Juli 2011
ORANG GILA DAN GELANDANGAN PUN TIDUR KALO MALAM
Kamis, 21 Juli 2011
Penumpang Ngawur
Hidup yang dipenuhi banyak kesalahan jauh lebih terhormat dan berguna dibandingkan hidup yang tidak berbuat apa-apa. – George Bernard Shaw
Bagi masayarakat yang berbudaya luhur, mengantri adalah sesuatu hal yang wajar/lumrah dalam setiap aktifitas hidup sehari-hari. Sudah dapat dipastikan dimana orang ‘dengan sengaja’ tidak mau mengantri (dalam hal apa saja) kekacauan, keributan, kesemerawutan, kemarahan, bahkan kecelakaan sangat mungkin terjadi.
Namun ada yang sedikit berbeda dalam antrian memasukin cabin pesawat kali ini. Selain antrian cukup panjang, juga agak lama.
Duduk nyaman di samping jendela tak membuat saya untuk berhenti berfikir tentang kejadian tadi. Kok bisa sih, seorang professional (menurut saya) gagah dengan jacket semi jasnya bisa ‘ngawur’ menempati tempat duduk yang bukan haknya? Memang kejadian itu sering terjadi namun biasanya hanya berlaku bagi orang-orang ‘tua’ yang kalau dilepas kacamatanya langsung nabruk-nubruk jalannya. Lha ini… masih muda dan gagah… kok bisa-bisanya?
Keingintahuan saya yang besar menuntun saya untuk mengamati boarding pass saya sendiri. Dan… “JRENG..!” saya temukan jawabannya. Di boarding pass saya yang kecil itu tertulis: Gate A07… Seat 5F. Saya langsung bisa menebak, tulisan di boarding pass ‘bapak yang salah duduk’ tadi pasti: Gate A07… Seat 29C. Ia pasti salah baca yang disangkanya nomor kursi ternyata adalah nomor gate. Meskipun tertulis Gate A07, dengan mantapnya dia duduk di kursi 7A, kursi milik si ibu bingung tadi.
Masih di pesawat yang sama saat penumpang sudah pada turun, saya (lagi-lagi) harus bersabar duduk menunggu antrian untuk keluar cabin karena penumpang ‘berebut’ mengambil barang di bagasi dan pengin segera keluar. Karena tidak kebagian tempat bagasi di atas seat saat mau duduk tadi jadi saya terpaksa menaruh tas saya agak jauh ke belakang. Kondisi ini tentunya ‘memaksa’ saya untuk menunggu sampai penumpang di belakang saya lewat satu per satu, tidak mungkin mereka keluar ke pintu depan sementara saya ‘ngeyel’ melawan arus ke belakang mengambil bagasi.
Di sinilah kejadian ‘penumpang ngawur’ kedua terjadi. Seseorang dengan santainya mengambil tas saya dan memanggul di punggungnya lantas jalan keluar. Hah!!! Apa maksudnya ini? Spontan saya tegur orang ini, “Maaf Pak, itu tas saya!” Agak sedikit kaget ia, dan ia lansung menjawab, “Maaf Mas, saya pikir itu tas temen saya yang mau saya bawakan” Hehehe bener-bener kejadian yang aneh. Coba saja saya tidak melihatnya, lenyap sudah laptop, buku dan dokumen-dokumen saya, setidaknya saya akan kebingungan mencai dan mengurusnya.
Menyusuri lorong ‘Garbarata’ keluar pesawat kembali saya diingatkan kejadian beberapa waktu yang lalu juga berkenaan dengan ‘penumpang ngawur’ ini. Seorang bapak menabrak kaca di samping pintu masuk (kaca juga) yang jelas-jelas terbuka sesaat setelah pengecekan boarding pass waktu mau naik pesawat. Gubrakkk! Tentu saja kejadian ini menarik perhatian semua orang dalam ruang tunggu tersebut. Semuanya terlihat menahan tawa, geli sekaligus kasihan melihat orang setua itu yang masih juga ‘ngawur’ jalannya. Dan yang paling kentara justru mbaknya petugas pengecek boarding pass, mukanya memerah nggak kuat menahan tawa yang teramat sangat. Untung saja, si bapak penabrak kaca itu tidak terluka dan mungkin karena merasa sangat malu langsung ngacir saja naik pesawat.
Saya mencoba memahami perilaku mengapa orang sering ‘ngawur’ seperti itu. Setidaknya ada saya temukan hal-hal yang berikut: kurang konsentrasi, tidak tahu, tidak mau tahu, tidak menghargai orang lain, tidak tahu maksud dan tujuannya, tidak tahu manfaatnya, kurang pengalaman dan pengetahuan, tidak mampu melakukan dan lain sebagainya. Ringkasnya penyebab orang yang ‘ngawur’ tersebut adalah ‘tidak’ kompeten! Ia mungkin saja tahu, tapi tidak mampu melakukan. Ia mungkin bisa saja melakukan tetapi tidak tahu yang sebenarnya harus dilakukan. Atau, ia mungkin saja tahu dan mampu melakukan apa yang seharusnya dilakukan, tetapi selama ia tidak mau, ya dampaknya adalah ‘ngawur’, atau sebenarnya dia mau tetapi karena tidak tahu dan tidak mampu melakukan ya hasilnya ngawur!
Kompetensi memang memiliki tiga unsur: tahu, mampu dan mau. Kehilangan salah satu darinya adalah bukan kompetensi apalagi dua atau bahkan ketiga-tiganya. Perhatikanlah bagaimana seorang pengendara ‘nyerobot’ lampu merah. Saya yakin ia TAHU bahwa merah adalah wajib berhenti, dan saya yakin bahwa ia MAMPU untuk berhenti, namun sayangnya, ia TIDAK MAU untuk berhenti. Dan sudah dapat kita bayangkan akibat dari ‘ngawur’nya tindakan tersebut. Contoh sederhana lainnya lagi, ketika anak saya A’an ingin sekali mendapat dan mengejar layang-layang putus, ia MAU naik ke atas atap rumah, dan berusaha akhirnya MAMPU meraih benang tersebut, namun karena TIDAK TAHU bahwa benang itu adalah benang gelasan, maka saat ia ‘ngawur’ saja menarik benang tersebut maka akibatnya jari telunjuknya tersayat dan harus di bawa ke klinik berobat untuk dijahit beberapa buah.
Lalu apa hubungannya dengan bapak yang salah tempat duduk tadi? Ada! Saya yakin bapak itu tidak mungkin tidak TAHU arti dan membedakan antara tulisan GATE dan SEAT. Dan tentunya bapak tadi MAMPU untuk memilih dan duduk di kursinya sendiri, hanya sayangnya bapak itu tidak MAU dengan teliti membaca tulisan di boarding pass tersebut.
Lebih dalam lagi saya berusaha memahami, ternyata bertindak penuh dengan ‘kengawuran’ tersebut juga sering saya alami. Saya TAHU bahwa jam masuk kantor adalah 08.30, dan saya juga TAHU bahwa lalulintas di Jakarta lebih banyak macetnya daripada lancarnya, dan saya sebenarnya MAMPU berangkat lebih awal, namun karena saya TIDAK MAU berusaha maka saya berangkat agak siangan, di jalanan saya mengendarai kendaraan saya dengan agak ‘ngawur’ karena waktu yang mepet dan Anda tentu sudah tahu lanjutannya. Benar! Saya terlambat! Tetapi lebih parah dari itu, saya (mungkin) dicacimaki oleh banyak orang di jalan.
Tadi malam, isteri saya bercerita tentang usaha Pak Iyan tetangga saya untuk membasmi jentik nyamuk di lobang saluran airn samping rumahya. Ia TAHU bahwa dengan menyiramkan bensin ke dalam saluran akan membunuh bakal nyamuk tersebut. Dan ia MAU melakukan sendiri dengan menyiramkan bensin dari ujung saluran dan berjalan mengintari rumah tetangga hanya untuk memastikan bahwa bensin sudah keluar di ujung lainnya. Namun sayangnya ia TIDAK TAHU bahwa bila uap bensin tersebut akan mampu menimbulkan ledakan bila terkena api. Saya bilang bahwa dia ‘ngawur’ dengan menyulutkan korek di ujung pipa tersebut. Alih-alih ingin membunuh jentik justru ledakan dahsyat yang terjadi, mirip ledakan akibat bocornya saluran tabung gas LPG. Tak ayal lagi warga sekampung geger. Bagaimana tidak geger, pak Iyan pun sampai terpental karena ledakan ‘yang ia bikin’ sendiri.
Tindakan ‘ngawur-ngawur dan ngawur’ tentunya akan sering kita jumpai di sekitar kita, bahkan dalam diri kita sendiri. Nah kalau kita tahu bahwa ‘kengawuran’ kita tersebut mampu merugikan bahkan mencelakakan, mengapa kita terus ngawur? Tidakkah kita mau berhenti sejenak untuk merenungkan, mengapa kita mampu bertindak bodoh seperti itu? Apa dampaknya terhadap orang lain, lingkungan, keluarga kita bahkan diri kita? Masa depan kita? Karir kita? Mari lihat ke dalam. Apakah kita cukup tahu, mampu, dan mau? Tanpa ketiganya, jangan salahkan kalau kita dianggap TIDAK KOMPETEN!
Lain halnya dengan kesalahan. Kesalahan bukan berarti ngawur! Kesalahan adalah hal yang biasa sebagai manusia, justru dari sanalah kita bisa belajar dan kemudian menjadi berhasil. Berbeda dengan ‘ngawur’ yang konotasinya adalah sengaja, asal-asalan, sembrono. Anda boleh saja salah, tetapi seharusnya Anda tidak boleh ngawur!
Keberhasilan adalah milik orang-orang yang berkompeten! – John C. Maxwell
Salam tidak ngawur lagi.
Selasa, 19 Juli 2011
PAGARALAM the Inner Beauty of South Sumatra
(Sebuah cerita lama yang diunggah kembali)
Tanjung Enim, Oktober 2007
Kasur yang Sejuk
Boughhh..!!!
Keras bantal itu menghantam muka diriku sekeras gema takbiran di masjid tetangga sebelah di hari pertama Idul Fitri. Terpaksa deh mimpiku untuk beli kamera DSLR Nikon D60 buyar, berantakan.
“Bangun Yah..!!!” Jagoanku kecil David dah gak sabaran nagih janjiku tuk jalan ke Pagaralam, hari ini. Ampun dah…!! Janjinya mo berangkat siang, pagi-pagi buta gini, mana ujan lebat lagi udah dibangunin… He… he… Anak yang satu ini langsung ‘nggulet’ diriku dengan dengan jurus kuncian maut-nya… karuan aja aku ngap-ngap-an gak bisa napas…
“Iya… iya… Ayah bangun..!!”
“Tapi, ini
“
“Iya... iya… tapi ini
“Ya… tapi ke tetangganya jangan lama-lama ya…” desaknya.
Terpaksa deh… diriku bangun en ngacir ke kamar mandi… sambil masih setengah watt matanya… dan …wusshhh… *sensor* Semalaman nge-net memang bikin males bangun.
Sambil jalan tadi daku lirik jagoanku yang besar, Andrew, masih ‘ngringkel’ ketekuk kayak pistol meluk guling kesayangannya, sementara mai hani lagi goreng-goreng, masak-masak, tumis-tumis, gosong-gosong di dapur… Dari aromanya sudah bisa ditebak kalo doi bikin mie goreng pake telor… he… he… this is her favorite cooking, gampang dan cepat… tapi soal rasa… gak ngalahin deh ma kwetiauw Quntien-nya mbah Edy… :P He.. he.. sebab kata wong pinter, ‘lauk yang ternikmat adalah rasa lapar itu sendiri’.. *Halahhh… alesan…* he… he…
Hidangan Lebaran
Singkat cerita jam sembilan-an kita berempat dah rapi jali, siap muter ke tetangga-tetangga. Di rumah Wak Soleh, sudah berjajar topless kaca dengan tutup-tutup yang diikat plastic dan pita warna-warni, kita dikasih makan opor bebek lengkap dengan segelas orson rasa entah… dan menikmati kue-kue seperti keripik sukun dan peyek kacang. Di rumah Ibu Anggi kita makan kue nastar dan putri salju. Di rumah Yuk Mi kita makan empek-empek dengan aqua gelas yang ada gambar pasangan SOHE (yang kalah di Pilgub). Di rumah Bu Agus kita disuguhin teh botol dan (lagi) kripik sukun. Di rumah Wak Ruslan, ada kacang bawang, permen, dan jagoanku dibawain Fanta kalengan pulangnya. Dan seterusnya… pokoke kenyang… lumayan pikirku.. buat persiapan jalan nanti,
Perjalanan yang Melelahkan
Jam 13.00 WITE (Waktu Indonesia Bagian Tanjung Enim), mobil keluar meninggalkan garasi ke arah barat daya menuju Pagaralam, kebun teh yang sejuk nan indah di pegunungan Dempo. Di bagasi belakang sudah siap peralatan anti dingin (jacket, sarung *Hahh..?? udik banget!!!*) serta gak lupa sepatu sport, celana jeans, topi, ransel sebab kita rencana juga mau lintas alam besok paginya.
Perjalanan yang seharusnya biasa ditempuh kurang dari tiga jam itu kita musti jalanin ampe empat jam. Kenapa? Yang pertama karena ujan gerimis sepanjang jalan, jadi kita musti rada slow, kedua karena diriku ngantuks berat, jadi sempat tidur stop en beberapa menit di pinggir jalan (abis begadang nge-net), ketiga ini mobil (yang emang udah tua) tumben-tumbennya rewel, gak bisa low idle (mati terus saat rpm rendah) jadi terpaksa jadi mekanik deh… ngakalin dulu.. (
Gak biasanya diriku merasa begitu capek bawa mobil. Daku biasa supir sendiri jarak jauh Tanjung Enim –
Untung aja sepanjang perjalanan enak dilihat.
Pokoke pemandangan yang gak biasa ditemui ma orang
Villa Pagaralam
Sampe di villa langganan kita (yang dah kita booking sebulan sebelumnya – maklum lebaran boo...) dah jam
Lokasi villa ini di perkebunan teh Gunung Dempo, kurang lebih 20 Km dari pusat kotaPagaralam. Ketinggannya… gak tahu belum ngukur… JPokoke tinggi banget… kanudah dikit rumah-rumah penduduknya… (loh.. apa hubungannya?). Mirip Puncak namun ada kelebihan tempat ini dibanding kawasan Puncak. Di sini masih termasuk daerah yang terpencil, jauh lebih sepi di banding Puncak, sehingga udara jauh lebih bersih dan suasana lebih tenang. Gak ada macet, gak ada warung ‘remang-remang’ di pinggir jalan, gak ada bus dan truck-truck yang ngabisin badan jalan, dan gak ada pedagang asongan yang ngetuk-ngetuk di jendela mobil kita.
Tapinya… (ada tapinya…) saat-saat tertentu seperti Lebaran (kali ini) dan tahun baru, kawasan ini bisa menjadi lebih parah macetnya daripada Puncak.. he.. he.. l
Kembali ke villa. Kita sewa satu kamar cuman seratus ribu per malam (murah banget yach…). Emang sih fasilitasnya cuman kasur an kamar mandi aja, gak ada TV (kita mo liburan… gak butuh berita TV), gak ada air panas (he.. he.. mau ngrasain mandi pake air es….). Tapi dah cukup puas kita karena ini villa cukup bersih dan punya view yang bagus banget. Buat nongkrong berdua ama mai hani mpe larut malem di teras rasanya… uindahh.. banget. Serasa dunia milik berdua… (yang lain numpang aja.. he.. he..).
Si Kengkul Mau yang Terdepan
Si kecil David kecil punya panggilan unik, yaitu ‘Si Kengkul’. Banyak kata-kata tanpa makna lainnya, ungkapan asal sebut yang sering/kadang ia ucapkan untuk mengekspresikan sesuatu. Spontan banget. Karena kata itu sangat lucu di telinga kami, maka kami suka memangilnya ‘kengkul’.
Pagi yang cerah, di hari berikut, sinar matahari pagi menerobos tirai menyinari kamar kami membangkitkan semangat kami untuk segera bangun dan menikmati hari ini.
Pagi ini sesuai rencana kami mau lintas alam menyusuri kebun teh (tea walk) mendaki lereng gunung Dempo.
Namun dengan tidak mengindahkan nasehat Gus Dur kami memilih melewati jalan tanah yang basah, berkelok-kelok, dan banyak akar dan batang melintang karena terasa lebih seru, dan banyak tantangan… he... he... (senengnya kok repot…)
Tanpa sarapan terlebih dahulu, tim kita langsung bergegas naik-naik ke puncak gunung.
Seperti biasa, tim kami dipimpin oleh ‘Si Kengkul’ si pencari jalan. Tubuhnya yang masih kecil hampir tidak kelihatan berjalan di antara rerimbunan pohon teh. Ia tidak pernah mau jalan di belakang. Ia selalu mau di depan, menyeruak pohon teh mencari jalan, sampai ke puncak. Sementara kakaknya Andrew dibelakangnya menyemangati Ayah dan Ibunya yang selalu tertinggal di belakang.
“Ayo..!! Semangat..!! Semangat…!!! Teriaknya. Si Kengkul.. berjalan sambil tak henti-hentinya nyanyi… entah lagu apa..
Ngos.. ngos.. ngos… begitulah bunyinya napas daku. Emang daku jarang olah raga, paling banter brenang, itu pun belum tentu seminggu sekali, makanya digenjot naik gunung kayak gitu langsung ‘menges’… he.. he.. Kalo ibuk-nya emang segaja di belakang supaya bisa ada alasan digandeng terus ma bapaknya.. .. ceilee… romantis nih.. yee.. *pamer mode: ON*
Di beberapa tempat kita beristirahat. Air aqua gelas (padahal mereknya bukan ‘Aqua’) menjadi sebegitu dingin dan menyegarkan, membasahi kerongkongan. Keringat membasahi baju membuat tubuh terasa bugar. Kami ‘tenggelam’ di hamparan kebun teh yang luas.
Kita sengaja gak bawa bekal makanan apapun. Hanya bawa air minum secukupnya. Karena kami tahu di atas
Terus.. maju,.. terus naik.. semangat.. semangat….!!!
Semakin tinggi semakin banyak pemandangan yang terlalu indah untuk dilewatkan, terlalu baik untuk diabaikan. Ceprat-cepret camera mencuri pandang. Kita terus bergerak naik… dengan satu tujuan… Yach.. Anda benar… warung!.. he.. he..
Perjalanan masih jauh… si Kengkul mendengar suara gemericik air, langsung berlari dan berteriak… “Hey…
Seneng banget dia bisa ‘menemukan air terjun mini-nya’. Dan langsung deh buka baju dan byurr….!!! Kakaknya gak mau kalah, ikutan nyemplung. Bbrrr… Seger.. (lebih tepat disebut ‘dingin’) wong ibu-nya coba celup kakinya aja udah kedinginan… he.. he.. Jadilah mereka ‘Tasran-tasran’ dadakan… *awas parno*
Puas mereka maen air… kita lanjutkan perjalanan.. naik, turun, terpeleset, jatuh, bangun, terperosok, ketemu ulat, tergores… sudah bukan halangan lagi..
Dan akhirnya…… cita-cita kita terkabul… Suara ibu warung yang sangat medok jawa-nya.. dari kejauhan seolah-olah memanggil-manggil kami… Jagoanku berlari gak sabar… begitu sampai langsung memesan... Mbah… saya minta; Pop Mie, lalu... Ice Cream, lalu… Oky Jelly Drink, lalu… permen karet… lalu… Maizone… lalu.. chiki… lalu… lalu… lalu… wah pokoke satu warung kalo bisa dijajal semua… he.. he.. bales dendam.
Daku dan mai hani menikmati lontong pecel… dan segelas teh hangat… hmmm... eunak tenan… gak papa... nikmati aja apa yang ada… he.. he.. sebab di sini gak ada Mc.D, Hoka Koka Bento, KFC, apa Kwie tieu… :P
Turun dengan Logowo
Gak sadar, sudah sejam lebih kami ‘menikmati’ di warung mbok dhe ini. Mau beranjak naik ke atas lagi rasanya sudah pada gak semangat. Kekenyangan kali yach… emang seh.. kalo lagi beraktifitas, terus kelamaan istirahatnya.. rasanya jadi berat lagi memulainya.. benar gak? He.. he.. jadinya kami menyerah dengan keinginan daging kami… *wuih… bahasanya… itu loh rohani banget* Kami memutuskan dengan penuh ‘kebijaksanaan dan perhitungan’. Ya, kami…. Turun! He.. he..
Nah… anehnya.. giliran turun ini… ibuk-nya masih juga tetap ketinggalan di belakang… he..he..
Si Kengkul tetap memimpin di depan dengan penuh semangat. kakaknya sudah kecapaian, terseok-seok jalannya. Empat jam berjalan sudah bikin kaki kita ‘mrengkel’ semua… Si Kengkul, tetap aja ceria… masih terus bersuara dan nyanyiin… setidaknya lagu ini yang sempat daku dengar…. ‘Racuunn… Racunnnn!!’ (semoga Anda tau … :P ) he.. he..
Akhirnya sampe juga kita di villa, jam 11 siang, celana dan baju dah kayak tentara yang nguber-nguber GAM di sawah. Langsung deh kita mandi… (dengan air es tentunya)… … Bbrrr (lagi). Makan siang… di kantin sebelah villa… dah kayak setahun gak ketemu nasi aja..., dan lanjut menikmati… suasana villa. Daku terkapar gak sadarkan diri… telap… sementara jagoanku dan mai hani ntah lagi ngapain… gak tahu… yang penting... ngrook.. ngrook…
(Bukan) Hanya ada di Jakarta
Jam satu siang diriku terbangun, dan segera berkemas... (kali ini gak pake males lagi).. untuk check out. Nah seperti yang daku bilang di awal. Di kawasan ini kalau pas hari-hari liburan panjang ini, bejibun orang yang pada kemari. Biasanya terakumulasi di atas jam 12-an, karena mereka datang dari jauh dan tidak pada menginap di sini. Al hasil… jalan aspal yang sampai ke puncak Paralayang itu penuh sesak dengan mobil dan motor… Ujian ketrampilan bagi pengemudi.. he.. he… tanjakan yang curam, dengan tikungan yang tajam, dan jalan sempit tentunya tidak gampang bagi pemula…. He.. he…
Apalagi banyak para supir yang seenaknya aja parkir di pinggir jalan yang sempit… atau pada berputar seenaknya… atau ada yang mogok… dan biker yang srobot sana-sini seenaknya… lengkap sudah.. Gak di Jakarta gak di dusun udik sini… samo bae… he.. he…
Eniwei… daku tidak terlibat di dalamnya… :(( tim kita dengan pimpinan David ‘Kengkul’ sudah dengan sukses mencapai tujuan (yaitu warung, red) tadi pagi… dimana jalanan masih sepi, orang belum banyak dateng, dan udara masih sejuk segar… jadi… giliran mereka ‘sibuk’ dengan rem dan kopling-nya kita dah ….ngacir pulang… bablas angine..
Tekad kami
Tak terasa ini sudah kali yang kelima kami berkunjung kemari. Minimal setahun sekali. Kami bertekad sebulat-bulatnya untuk kembali lagi kemari… Adasesuatu yang membuat kami selalu ingin kembali. Entah karena Warung Mbok Dhe, air terjun mini, batu besar di tengah kebun, dinginnya air villa, atau entah apa… yang jelas bukan karena crowded dan bisingnya klakson gak sabaran mobil dan motor…
Akhirnya, kita sebelum pulang mampir dulu beli oleh-oleh buat tetangga yang dah menjamu kita dengan kue-kueh lebaran. Ya, teh hitam gunung Dempo terkenal bisa mengobati, berbagai macam penyakit, seperti: jantung, kanker, asam urat, kolesterol, gula, darah tinggi, dll. Pokoke banyak sekali. He..he.. dah kayak dukun alternative aja yang banyak diiklankan di koran-koran. Bener apa nggak, diriku tidak tahu. Hanya sekedar baca manfaat di kemasan. Tapi yang jelas tiap hari daku juga minum, sedap dan harum. Murah kok cuman enam ribu perak per kotak 250gr. Mau?? Makanya datang kemari..
Karimunjawa, Kepulauan yang ‘Krumun-krumun’
(Sebuah cerita lama yang diunggah kembali)
Karimunjawa, 26 Desember 2009
Angin berhembus sejuk semilir serta keindahan pantai yang air lautnya biru kehijauan menyambut kami, menyegarkan kami setelah enam jam duduk penat di lantai Kapal Motor Muria kelas ekonomi. Akhirnya keinginan kami yang terpendam sudah lama terwujud juga. Sore hari itu kami beruntung karena sempat menyaksikan sekawanan lumba-lumba melompat-lompat mengiringi laju kapal kami menuju ke dermaga Karimunjawa, kepulauan yang ditemukan oleh Sunan Muria. Tantangan bagi Anda yang sering dijuluki backpacker atau traveler rasanya belum lengkap kalau belum mengunjungi kepulauan yang satu ini. Karimunjawa adalah sebuah kepulauan yang sangat indah, asri dan terlalu menawan untuk tidak dikunjungi.
Karimunjawa, menurut legenda penduduk setempat berkisah tentang keprihatinan Sunan Muria atas kenakalan putranya, Amir Hasan. Dengan maksud untuk mendidik, memperdalam dan mengembangkan ilmu agama, beliau memerintahkan putranya untuk pergi ke pulau yang nampak “krumun-krumun” (kabur) bila dilihat dari kejauhan, dari puncak Gunung Muria. Untuk selanjutnya pulau itu sampai sekarang lebih terkenal dengan nama”Karimun”.
Kepulauan yang terletak di Kabupaten Jepara ini sejak tanggal 15 Maret 2001, sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai Taman Nasional. Terletak di Laut Jawa dan terdiri dari kurang lebih gugusan 27 pulau dengan pulau-pulau besar di antaranya; Pulau Karimunjawa (terbesar), Pulau Kemujan, Pulau Parang, Pulau Nyamuk, dan Pulau Genting, sisanya adalah pulau-pulau kecil yang tidak dihuni manusia. Total luas keseluruhan wilayahnya adalah 111.625 hektar yang terdiri dari 1.507,7 hektar daratan dan sisanya perairan. Pada umumnya pulau-pulau ini merupakan hutan tropis dataran rendah.
Pesona wisata laut yang lengkap dapat Anda temui dan rasakan di
Tidak usah kuatir memikirkan dimana tempat menginap, karena di sana banyak sekali rumah-rumah penduduk yang disewakan sebagai ‘home stay’ dengan biaya yang sangat murah antara Rp75.000 – Rp150.000 tergantung fasilitas. Mau yang lebih, hotel dan resort juga tersedia di
Setidaknya ada tiga alternatif moda transportasi untuk menuju ke
Masih penasaran? Jangan lama-lama, luangkan waktu Anda bersama orang yang Anda kasihi, segeralah kesana. Cerita hanya tinggal cerita, tanpa pengalaman tiada artinya. Hanya satu pesan kami, bawalah Sun Block Cream banyak-banyak, tanpa itu dijamin kulit Anda akan ‘gosong’ dan perlu waktu seminggu untuk memulihkannya.
Majulah Wisata Bahari
Salam.
Cat: Data dari berbagai sumber.
Metode Kehilangan
Rahmat sering datang kepada kita dalam bentuk kesakitan, kehilangan, dan kekecewaan, tetapi bila kita sabar, kita segera melihat bentuk aslinya. – Joseph Addison
Betul kata pepatah, apa yang kita terima belum tentu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Entah mengapa setiap hari ulang tahun pernikahan kami kok ya ada saja tugas-tugas luar dari kantor, sehingga keinginan kami untuk bisa merayakan—entah itu sekedar jalan berdua, makan malam (candle light dinner) berdua, atau sekedar menikmati waktu berdua tanpa gangguan anak-anak—seringkali tidak kesampaian. Demikian halnya ulang tahun yang ke tiga belas ini, saya mendapat tugas mengajar di
Namun ada hal yang berbeda saat bertelepon dengan isteri tercinta kali ini. Nampak jelas dari nada bicaranya ada rasa ‘kuatir, cemas, dan rasa takut kehilangan’. Rupanya ada kejadian tadi siang dengan seorang keluarga tetangga. Sang isteri menangis sejadi-jadinya karena suaminya yang menderita sakit batu ginjal yang cukup kronis dan sedang mengalami masa perawatan yang intensif itu mengalami demam yang tinggi. Mungkin kekuatiran ditinggal suaminya dengan keadaan ekonomi yang kurang cukup baik membuatnya takut menghadapi kemungkinan hari esok.
Kehilangan suami, istri, anak atau apa pun pastilah merupakan kejadian yang sangat menyedihkan, dan sebisa mungkin hal tersebut dihindari dengan segala rupa dan macam cara. Rupanya kejadian tadi cukup merasuk ke dalam pikiran dan hati isteri saya tercinta, sehingga sangat wajar ada rasa takut bila hal serupa menimpa saya suami tercintanya. Nah dengan rasa itulah ia wujudkan dengan bertelepon yang (menurut saya) di luar dari kebiasaannya. Memang sifat isteri saya di kesehariannya sangat periang, lincah, dan suka bercanda, jadi bertelepon dengan nada memelas dengan penuh harapan kepada saya untuk selalu berhati-hati, menjaga kesehatan adalah pancaran dari dalam lubuk hatinya, bahwa ia pun takut kehilangan saya.
Malam harinya, saya merenungkan kejadian tadi siang. Saya mencoba menyelami, berusaha memahami apa yang sudah terjadi. Saya membayangkan kalau saya juga harus kehilangan dia, isteri saya tercinta. Tak terasa air mata saya mengalir deras membasahi pipi. Betapa selama ini saya sangat mencintainya, betapa selama ini hidup saya sangat berarti karena dia, betapa susahnya selama tujuh tahun saya butuh masa untuk mendapatkannya, betapa saya menyadari saya menjadi apa seperti saat ini adalah karena dia yang selalu mendukung saya, betapa dia sudah memberikan segala-galanya untuk saya, betapa dia rela untuk menua bersama saya, betapa ia mengorbankan segalanya untuk saya dan anak-anak saya. Langsung kuangkat telepon dan kutumpahkan segala rasa itu kepadanya. Di tengah malam, di heningnya kamar hotel ini kukatakan kepadanya, bahwa aku bersyukur, dan sangaaaat bersyukur, mempunyai isteri dia. Akan kujaga rasa ini sampai kapan pun, sampai ajal menjemput kita, sesuai komitmen pernikahan kita di altar gereja.
Saya tersadar, ini bukan kali yang pertama saya merasakan ‘akan kehilangan’. Namun saya harus mulai menerapkan bahwa perasaan ‘akan kehilangan’ membuat kita menjadi ‘tergugah’ bahwa ternyata kita harus mensyukuri bahwa kita masih memiliki. Kita menjadi tergugah untuk menjaganya mati-matian sesuatu yang kita sayangi dan miliki saat ini. Rasa ‘akan kehilangan’ atau saya sebut ‘metoda kehilangan’ ini—yang sebenarnya belum benar-benar kehilangan—mampu mengingatkan kita tentang perlunya bersyukur.
Bersyukurlah senantiasa, demikianlah yang dikatakan oleh kitab suci, hanya akan menjadi kata-kata manis yang lewat tanpa arti begitu saja. Namun bila sesuatu/seseorang yang begitu kita cintai diambil daripada kita, barulah nantinya kita akan sadar, bahwa selama ini kita tidak pernah bersyukur karena sudah diberi Tuhan seseorang/sesuatu yang sangat berharga. Inilahlah makna sesungguhnya, kalau kita tahu bahwa ia/mereka sangat berharga dalam hidup kita, mengapa kita terus menyia-nyiakannya? Mengapa kita tidak merawatnya, menjaganya sehingga semakin bermakna? Sebab Tuhan tidak hanya berharap kita bersyukur atas karunia-Nya yang sudah diberikan kepada kita, kepada talenta-talenta yang sudah dikaruniakan-Nya, namun lebih dalam lagi Ia mau kita menggunakannya, merawatnya, menjaganya, dan mengembangkannya sehingga suatu saat nanti kita bisa mempertangungjawabkannya di depan tahta pengadilan-Nya.
Banyak cara supaya kita bisa tergugah untuk bersyukur, namun ‘metode kehilangan’ inilah yang menurut saya sangat menyentuh dan membuat kita termotivasi untuk untuk segera bergerak.
Saat ini, coba bayangkan; suami/isteri Anda meninggal dunia, anak-anak Anda kecelakaan, atau orang tua Anda sakit parah. Rasakan! Saya yakin Anda akan angkat telepon, Anda akan menyatakan perasaan bahwa begitu Anda mencintainya, Anda akan mengatakan bahwa Anda tak ingin kehilangan mereka, Anda akan menyesali mengapa selalu menyakiti hati dan persaannya, dan saya yakin Anda akan berkomitmen untuk selalu menjaga mereka.
Kupersembahkan tulisan ini kepada; isteri dan anak-anakku tercinta. Ayah tak ingin kehilangan kalian!