Halaman Blog ini

"SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA KAWAN"

Selamat datang di website saya kawan. Mari kita berbagi! Berbagi ilmu, berbagi rasa, berbagi pengalaman, berbagi materi atau berbagi apa saja. Kita isi kehidupan ini dengan hal-hal yang positif, yang bermanfaat, yang membangun bagi diri sendiri dan sesama. Mari kita wujudkan Indonesia yang damai sejahtera, mulai dari diri kita, mulai saat ini, atau tidak sama sekali! Salam Damai Indonesia.

Selasa, 04 Oktober 2011

Daftar Masalah


“Daripada menghitung kesulitan Anda, cobalah menjumlah berkat-berkat yang telah Anda terima” – Geoffrey Still

Jakarta, 04 Oktober 2011

Ada hal unik baru di keluarga kami. Kami menyebutnya “Dafar Masalah”. Lembaran-lembaran kertas bekas ukuran A4 yang masih ada sisi kosong di baliknya, kami satukan, kami potong setengahnya, kami bundle dengan paper clip dan kami gantung di belakang rak buku sehingga mudah terlihat dan terjangkau. Setiap orang dari kami boleh menuliskan apa saja masalah—terutama peralatan rumah tangga—yang rusak, yang butuh perbaikan tangan ahlinya yaitu ayahnya.

Saya mengawalinya dengan menulis:

  • Kuras tandon air, karena memang lumutnya sudah banyak
  • Bongkar computer David, yang sudah sering mati-mati sendiri
  • Ganti/modifikasi filter mesin cuci, yang sudah sobek
  • Dempul plafond dan tembok yang rertak-ratak, setelah selesai musim kemarau
  • Benerin platina/otomatis pompa air, karena cetak-cetek terus

Lalu isteri saya menambahkan:

  • Seterika kurang panas
  • Ganti kampas rem motor Beat

Lalu Si A’an ikut-ikutan nulis:

  • Jam Aan yang Adidas mati
  • Air gallon habis

Hari berikutnya Si David ikut menambah panjang daftar dengan menulis:

  • Helm David rusak (topinya)
  • Jam (tangan) David diisi battery

Ide menulis ‘daftar masalah’ ini muncul, karena seringnya saya ‘lupa’ untuk mengerjakannya pada kesempatan-kesempatan hari libur saya. Bagi saya hari libur—Sabtu dan Minggu dan hari lainnya—merupakan kesempatan emas untuk melakukan aktifitas/kegiatan sebagai seorang ‘ayah sejati’. Biasanya pagi hari saya awali dengan berolah raga jogging bersama Goldie, dilanjutkan dengan membersihkan taman dan kolam, memandikan Goldie, mencuci mobil atau motor, membersihkan lantai car port, setelah mandi, sarapan dan rehat sejenak biasanya saya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan mereparasi peralatan rumah tangga yang rusak. Apa saja, pokoknya yang membutuhkan tangan seorang ayah! Mulai dari menutup lubang lantai dengan semen bila rayap sudah mulai mengeluarkan monument tanahnya sampai dengan mereparasi sambungan-sambungan pralon yang rembes. Dari mulai mereparasi engkol sepeda David sampai menyiangi rumput di sekeliling rumah. Dari mengutak-atik mobil sampai service AC kamar.

Hari libur adalah waktu-waktu yang sangat berharga. Kecuali saya lagi tidak enak badan, saya akan memanfaatkannya dengan maksimal. Dari pagi sampai sore bahkan menjelang malam saya gunakan untuk melakukan hal-hal fisik yang menyenangkan dan bermanfaat. Sambil rehat saya menikmati hidangan tahu goreng dengan saus cabe dan jus belimbing kegemaran saya yang disajikan isteri tercinta. Saya sangat menikmati melakukan semuanya itu. Saya merasakan bahwa inilah hidup, inilah fungsi seorang ayah, inilah rumah tangga yang sebenarnya. Inilah yang namanya bahagia. Bagi saya, sungguh sangat disayangkan bila kesempatan itu hanya dipakai untuk bermalas-malasan, tiduran, nonton tivi atau apa pun yang tidak menghasilkan manfaat.

Kembali ke ‘Daftar Masalah’ tadi. Rupanya dengan kesibukkan dan ‘keasyikkan’ saya melakukan itu semua, sampai saya lupa mana dulu yang harus dikerjakan. Saya kadang mengerjakan terlebih dahulu hal-hal yang sebenarnya kurang penting dan kurang urgensinya. Hal-hal yang urgent malah terlupakan dan saya kehabisan waktu libur saya untuk mengejakannya, sehingga terpaksa harus tertunda minggu depannya lagi. Karena hal inilah maka ide membuat ‘daftar masalah’ ini muncul. Saya tinggal menandai dengan lingkaran dengan tulisan ‘OK’ di tengahnya bila masalah sudah terselesaikan. Beres!

Namun uniknya semakin banyak tanda ‘OK’-nya, semakin banyak masalah yang saya selesaikan, daftar masalah-masalah baru muncul lagi. Baru saja saya selesaikan mengganti dan menyetel platina (otomastis) pompa air, sudah muncul masalah baru lagi; kunci pintu depan rusak. Baru saja saya selesai mengganti (modifikasi) filter mesin cuci, si David sudah menambahkan tulisan lagi; Goldie mulai kutuan. Dan seterusnya dan seterusnya. Sampai akhirnya tidak cukup lagi satu lembar. Saya harus tulis lagi dilembaran yang baru dengan tidak menyertakan lagi dafar masalah yang sudah OK.

Melalui daftar masalah yang tergantung di dinding itu saya dapat banyak pelajaran berharga mengenai kehidupan ini:

1) Yang pertama kita belajar mengenal diri kita sendiri melalui masalah-masalah yang terjadi pada kita. Sejatinya orang yang merasa tidak punya masalah berarti dia sendirilah yang bermasalah. Bagaimana menentukan sikap kita terhadap masalah tersebut.

2) Kita belajar mengenai rencana-rencana perbaikan. Kita menjadi terlatih untuk menganalisa suatu masalah, menemukan penyebabnya dan menentukan langkah atau tindakan apa yang akan kita lakukan untuk memperbaikinya serta melakukan tindakan pencegahan supaya masalah tersebut tidak terulang kembali.

3) Kita belajar menentukan skala prioritas. Tanpa prioritas, tindakan kita hanya buang-buang waktu saja, kita akan kelelahan mengurusi hal-hal remeh temeh yang sebenarnya bisa kita kerjakan belakangan.

4) Membuat hidup lebih hidup. Ada interaksi antar sesama anggota keluarga. Ada perasaan saling membutuhkan satu sama yang lain. Ada perhatian dan kepedulian serta kebersamaan. Tidak mungkin saya masuk ke dalam tandon air karena ukurannya terlalu kecil buat saya, jadi Si A’an yang masuk dan membantu membersihkan diding dalamnya.

5) Ada pertumbuhan. Sebab dengan demakin banyak masalah yang kita hadapi, kita menjadi orang yang terlatih, bijaksana, dan semakin dewasa. Berpengalaman menjadikan kita semakin percaya diri menghadapi tantangan hidup selanjutnya.

6) Menyadari kelemahan kita sebagai manusia. Ternyata ada banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan, dan kita harus pasrah dan menyerahkannya kepada orang yang lebih kompeten.

7) Lebih bersyukur, karena lewat masalah-masalah ini, ternyata mendidik kita untuk lebih berhati-hati, lebih cerdas, lebih bijaksana merawat barang titipan Tuhan yang sudah dipercayakan-Nya kepada kita.

Belum usai saya menulis ini, isteri saya laporan, “Yah, kran shower sudah dol, tidak bisa nutup rapat lagi, airnya ngucur terus!” Dan saya hanya bisa menjawab dengan enteng, “Catat saja di ‘daftar masalah’”. Lha mau diapain lagi, emang sudah waktunya rusak. Namun secara reflek pikiran saya bekerja untuk mencari solusinya. Bahwa masalahanya adalah untuk mengganti kran tersebut harus membongkar keramik di kamar mandi. Ah, gampang, pasti ada solusinya. Entah kapan saya mau memperbaikinya, yang penting, catat dulu.

Secara nalar daftar masalah saya ini semakin lama seharusnya semakin sedikit, karena sedikit-sedikit sudah saya atasi. Namun faktanya tingkat pertumbuhan kerusakan lebih cepat dari action perbaikan saya. Sehingga membuat daftar semakin panjang. Dan bila saya berfikiran negative, saya akan sangat menyesali nasib saya, mengapa masalah tak habis-habis. Mungkin saya akan menghakimi diri saya sendiri. Mungkin saya akan terintimidasi oleh pikiran saya sendiri. Sudah sewajarnya kalau saya mengeluh bahwa saya kurang beruntung. Dan sudah pasti kalau saya bersikap seperti ini pasti menghilangkan perasaan bahagia saya.

Alih-alih memikirnya banyaknya masalah yang saya hadapi, saya justru sangat bersyukur buat rahmat dan berkat Tuhan yang ‘melimpah’ bagi saya. Kalau mau saya catat satu per satu, tidak bakalan cukup satu buku tebal untuk mencatatnya. Ada terlalu banyak berkat jasmani maupun rohani yang sudah saya sekeluarga alami. Saya mempunyai seorang isteri yang cantik dan baik hati, saya mempunyai anak-anak yang sehat, pintar dan ganteng-ganteng, tak dinyana ternyata saya sudah memiliki dua rumah (meskipun yang satu belum bisa ditempati), saya punya kendaraan yang layak, saya punya tetangga yang baik, saya punya pekerjaan yang baik dan mapan, saya punya… saya punya… saya punya… banyak dan banyak lagi.

Inilah alasannya mengapa saya tidak boleh mengeluh. Berkat yang saya terima jauuuh…. lebih besar dan banyak ketimbang masalah yang saya hadapi. Dengan demikian saya akan senantiasa merasa menjadi orang yang berbahagia. Ah.. ternyata untuk menjadi bahagia itu mudah. Ia tidak kemana-mana. Ia ada di dalam diri kita.

Salam bahagia!

Jumat, 09 September 2011

Rumput Tetangga Selalu Terlihat Lebih Hijau? Ah! Masak?!!


“Kesuksesan adalah mendapatkan apa yang kita inginkan, kebahagiaan adalah menginginkan apa yang kita dapatkan.”


Jakarta, 8 September 2011

Saya termasuk orang yang tidak setuju dengan judul di atas. Lha bagaimana mau setuju, di kampung saya, saya berani jamin yang punya taman paling hijau hanya di rumah saya. Lainnya; ada yang pelataran biasa, ada yang berumput liar, ada yang di semen semua, ada yang sudah jadi garasi, ada yang rumputnya mati digilas ban mobil, bahkan ada yang tidak punya pelataran sama sekali. Jadi meskipun cuman berukuran dua kali empat meter, taman di rumah saya menurut saya tetap yang tercantik dan terhijau, bukan saja kerena rumput gajah mini dan tanaman mini gardenia-nya yang rapi terawat tetapi gemerciknya suara air di kolam koi serta semerbak wanginya melati itu yang membuat saya betah berlama-lama duduk dekatnya (di teras) sambil membaca buku tiap malam. (Kebiasaan membaca buku setiap malam di teras dengan hidangan ringan dan teh poci di teko tanah liat atau jus buah merupakan saat-saat yang membahagiakan bagi saya, apalagi dengan ditemani isteri tercinta).

Pasti Anda akan berkomentar; Ah, Pak Eko! Itu kan cuman istilah saja yang artinya adalah bahwa apa pun yang kita miliki ternyata kepunyaan orang lain lebih indah, lebih baik dari punya kita. Ada yang lebih ‘menarik’ dibanding milik kita. Entah milik itu berupa benda, situasi, suasana atau bahkan (payahnya) menyangkut manusia, anggota keluarga kita; anak, istri, suami kita. Bukankah banyak masalah yang timbul karena kita merasa iri dengan apa yang dipunyai tetangga? Minimal kita pendam dalam hati dan mungkin malu-malu mengakui bahwa apa yang dimiliki tetangga kita jauh lebih baik dari apa yang kita miliki.

Dalam hati kita mungkin berkata; motornya Pak Karyo bagus banget ya, motorku, sudah butut sering mogok lagi; anak-anaknya Pak Faizal baik dan cakep-cakap, anakku, udah bodoh, malas, jelek lagi; mobilnya Tante Pretty keren loh keluaran terbaru, mobilku, udah tua, jelek, sering masuk bengkel; istrinya Pak RT cantik bener, kelihatan muda, seksi dan seger, istriku, udah gembrot, gak mau dandan, bau lagi; suaminya Tante Ivon gagah loh, udah ganteng kaya lagi, suamiku, udah botak, tua, males, gak bisa apa-apa. Dan lain-lain dan lain-lainnya. Lebih parahnya lagi, bukannya kita berusaha memperbaiki milik kita yang menurut kita kurang baik itu, justru malah kita ‘menginginkan’ milik tetangga kita tersebut. Kita menggunakan pembenaran-pembenaran kita sendiri untuk berdalih supaya bisa ikut ‘memiliki’ rumput tetangga kita.

Kalau melihat istilah di atas mungkin sama maknanya dengan istilah ini; “Pelangi itu selalu berada di atas kepala orang lain, tidak pernah di atas kepala kita.” Kecenderungan manusia adalah melihat bahwa orang lain selalu lebih baik dari kita, kebahagiaan selalu di atas kepala orang lain, tidak pernah di atas kepala kita sendiri. Kalau ketemu orang yang cantik/ganteng, kita merasa sial mengapa wajah kita jelek. Kalau melihat orang lain sukses, kita merasa menjadi orang yang bernasib buruk. Kalau melihat orang lain kelihatan bahagia, kita merasa menjadi orang yang paling tidak beruntung. Orang banyak yang tidak tahu bahwa iri hati, sakit hati, dengki, cemburu sangat merusak hidup kita, menjauhkan kebahagiaan dari kita. Orang yang iri/sakit hati sering tidak bisa tidur memikirkan orang ‘yang di-iri-in-nya’ sementara orang yang ‘diiriinnya’ bisa dengan santai dan nyamannya menjalani hidupnya. Fenomena yang aneh, bayangkan saja; tetangga yang ganti mobil baru, kita yang tidak bisa tidur. Kita bisa mati sendiri oleh karena sakit hati kita, sementara orang yang kita ‘sakit hatiin’ tidak merasa apa-apa. Maka benar kata kitab suci; bahwa Sesungguhnya, orang bodoh dibunuh oleh sakit hati, dan orang bebal dimatikan oleh iri hati. (Ayub5:2).

Inilah permasalahannya. Kalau semua orang ditanya, apakah ingin hidup bahagia? Semuanya pasti menjawab. Mauuu..! Namun parahnya mereka tidak tahu bahwa kunci kebahagiaan itu sebenarnya ada pada kita sendiri. Ada dalam otak/pikiran kita sendiri. Dengan iri/sakit hati sesungguhnya kita sedang meracuni pikiran kita sendiri sehingga berdampak merusak kebahagiaan kita. Kita tidak bisa mengendalikan keadaan di sekitar kita, tetapi kita bisa mengendalikan pikiran dan respon kita. Kita bisa memilih dan mengelola pikiran kita. Managing mind itu kuncinya. Mungkin secara fakta memang benar bahwa apa yang dimiliki tetangga kita memang jauh lebih baik dan indah dari apa yang kita miliki, namun alangkah indahnya kalau kita mengelola pikiran kita menjadi seperti ini; Ah, mereka menjadi seperti itu kan karena sudah melewati proses yang kita sendiri tidak tahu sehingga sudah sepantasnya kalau mereka seperti itu. Dan memang kebanyakan orang berkomentar hanya kepada hasil akhir bukan pada proses. Kalau kita menyadari bahwa sesuatu terjadi karena proses (baca: usaha/tindakan/action) maka kita justru akan menghargai apa yang sudah didapat dari orang lain tersebut. Dan seharusnya kita belajar dari usaha/proses yang dialami tetangga kita tadi. Jadi, latihlah, biasakanlah pikiran kita untuk tidak melihat sisi jeleknya orang lain saja. Dengan berpikiran positif, kita akan bahagia. Hidup kita jadi enteng, tanpa beban, enjoy.

Kembali ke rumput tetangga tadi. Nah, kalau rumput saya terlihat lebih hijau, rapi dan terawat, itu bukan terjadi hanya dalam waktu semalam saja. Ada proses dan usaha yang cukup melelahkan di sana. Ada action yang consistence dan persistence! Saya harus membeli bibit rumput, saya harus mengolah tanahnya—saya mencari tanah humus yang gembur dan baik di lereng dekat sungai dan mengangkutnya di bahu saya dengan menggunakan bekas kantong beras, melompati batu-batu sungai kecil dan memanjat tanggul, bolak-balik sampai seluruh area taman tertutup, mengaduknya, mencangkulinya—saya menanamnya dengan hati-hati dan rapi, saya menyiraminya setiap pagi dan sore, saya memberinya pupuk, saya menyianginya kalau ada rumput liar. Untuk tanaman sekelilingnya, saya mencari bambu, memotongnya, mengikat benang dan menimbangnya dengan meteran dan selang yang diisi air (supaya tingginya sama rata) membentangnya dan memengkas tanamannya sesuai benang. Untuk kolamnya saya ganti airnya setiap dua minggu sekali, membersihkan pompanya, saringannya, mengatur selangnya dan memberi makan ikannya setiap hari. Dan sangatlah tidak mungkin kalau saya melakukan semua itu bila dengan tanpa rasa sayang (dengan hati). Saya melakukannya dengan senang, saya menikmatinya, saya merawatnya dengan hati, sehingga detail kecil dahan bengkok pun saya tahu kemudian saya ikat dan atur. Dan saya berbahagia melakukan semuanya itu.

Itulah prosesnya, dan kalau saja ada orang yang iri melihat taman saya, itu karena mereka hanya melihat hasil akhirnya tanpa mau melihat prosesnya. Halaman dan taman yang hijau hanyalah salah satu contoh. Bagi saya, meskipun tua, mobil saya tetaplah mobil yang terbaik dimana saya bisa dengan nyaman dan aman membawa seluruh keluarga saya jalan-jalan. Rumah saya yang meskipun kecil adalah rumah terbaik yang Tuhan sudah titipkan kepada saya. Anak-anak saya adalah anak-anak yang terbaik, terpintar, terganteng. Isteri saya adalah isteri yang terbaik, tercantik, terindah yang sudah Tuhan berikan kepada saya. Semua yang ada pada saya adalah yang terbaik yang Tuhan sudah titipkan. Olehnya saya juga harus merawat dan menjaganya. Saya tidak akan membiarkan mobil saya bobrok tak terawat, saya tidak akan membiarkan rumah saya buruk dan kusam tak tersentuh, saya tidak akan membiarkan anak-anak saya tumbuh menjadi anak berandalan, dan saya sangat tidak akan membiarkan istri saya menjadi cepat tua, jelek dan berperilaku buruk. Saya tahu pasti saya harus menjalani semua proses itu, dan saya akan menjalaninya dengan penuh sukacita.

Nah, kalau sudah paham betul akan hal itu, maka jelas tidak ada istilah Rumput Tetangga Selalu Terlihat Lebih Hijau dalam kamus hidup saya. Rumput di halaman saya tetap paling hijau! Karena saya mau hidup berbahagia, maka saya tidak akan iri dan sakit hati kepada orang lain. Saya akan menjaga pikiran saya tetap positif. Dan pastinya kalau saya sudah mendapatkan apa yang saya inginkan, maka saya tetap akan menginginkan apa yang telah saya dapatkan. Itulah kebahagiaan.

Salam rumputku hijau!

Jumat, 26 Agustus 2011

Homesick, Rindu Udik



Jakarta, 26 Agustus 2011

Semuanya tersenyum, semuanya tertawa, semuanya bercanda, berfoto, bergurau, bersalaman, berpelukan, berciuman. Setidaknya suasana itulah yang saya lihat dari atas jendela kantor saya. Mudik bersama dengan armada bus terbaik di negeri ini dengan hanya membayar limapuluh ribu rupiah sudah bisa menghantarkan mereka sampai ke kota tujuan, yang bahkan sampai ujung timur pulau Jawa. Memang sudah menjadi tradisi perusahaan kami menyelenggarakan mudik bersama setiap tahun, tradisi yang mungkin membuat iri karyawan perusahaan lain. Karyawan tinggal duduk nyantai bersama kerabat atau keluarga, para pengemudi ‘profesional’ akan menghantar ke kota kerinduan dengan nyaman dan aman. Bahkan mereka tidak perlu repot-repot membawa bekal makanan, karena panitia sudah menyediakannya, dari minuman, snack, bahkan makanan untuk buka dan sahur keesokan harinya. Ah, meskipun saya tidak ikut mudik, saya bersukyur dan turut bahagia merasakan kebahagiaan menjadi karyawan perusahaan ini.

Euphoria mudik sudah mulai terasa saat ini. Di televisi, di internet, di radio, di surat kabar, di jejaring sosial, semuanya memberitakan informasi seputaran mudik dengan segala pernak-pernik yang menyertainya. Dari macetnya jalan tol, kiloan meter panjangnya kendaraan merayap di Pantura, berjubalnya penumpang di stasuin kereta dan terminal bus, ribuan motor yang menyemut di Kalimalang, hilir mudiknya penumpang dan barang di kapal-kapal penyeberangan, posko-posko bantuan mudik oleh agen-agen kendaraan, posko-posko kesehatan, posko-posko bantuan polisi, mobil-mobil pribadi dengan bagasi dadakan diatasnya menjadi pemandangan ‘unik’ yang (mungkin) hanya ada di Indonesia.

Tidaklah salah kalau euphoria seperti yang saya gambarkan di atas hanya ada di negeri ini, karena fenomena-fenomena di atas berkaitan erat dengan budaya bangsa ini. Mudik dengan segala resikonya sudah menjadi budaya turun-temurun bangsa ini. Lelah tetapi menyenangkan, berbahaya tetapi mengasyikkan. Ada makna yang sangat penting di dalamnya, sehingga mengalahkan resiko dan efek sampingnya. Dan makna itu tidak tergantikan, tak terbayarkan oleh apa pun juga.

Ah, rupanya saya salah! Budaya mudik ternyata bukan hanya ada di Indonesia dan oleh umat muslim saja. Mungkin hanya cara dan perilakunya berbeda. Dalam bahasa Spanyol rindu mudik ini disebut "el mal de corazón" yang artinya sakit hati. Hati yang sakit karena ridu kampung halamannya. Rindu mudik tersebut bisa disamakan juga dengan rindu akan masa lampau atau Notstalgia. Kata Nostalgia itu diserap dari dua kata dalam bahasa Yunani "Notos" yang artinya kembali ke rumah dan "algos" yang berarti sakit/rindu. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut Homesick, dalam bahasa Jerman "Heimweh" . Weh artinya sakit, Heim artinya rumah atau Heimat yang artinya tanah air. Kata Heim itu sendiri diserap dari bahasa Jerman kuno Heimoti yang artinya Surga.

Sedangkan di negeri ini kata Mudik diambil dari kata "Udik" yang berarti desa atau jauh dari kota alias di udik. Mudik berarti kembali ke udik, ke asal usul kita. Tidak peduli kita sekarang tinggal di kota besar, di rumah mewah, atau bahkan di luar negeri, ini tidak akan bisa menggantikan suasana seperti rumah di kampung halaman sendiri, meskipun begitu ‘udik’nya kampung kita.

Di Eropa, penyakit rindu mudik ini lebih dikenal dengan sebutan "penyakit orang Swiss". Masalahnya sejak abad ke 15 banyak sekali pemuda dari Swiss yang bekerja sebagai tentara bayaran di Italy, Perancis, Jerman maupun Belanda. Mereka itu adalah serdadu bayaran yang pertama, oleh sebab itu juga sampai dengan saat ini di Vatikan masih tetap mengerjakan para serdadu Swiss. Namun kelemahan dari para serdadu Swiss itu mereka sering rindu mudik. Hal ini membuat banyak serdadu tersebut yang sering minggat maupun bunuh diri. Maka dari itu pada abad ke 18 di Perancis orang akan dihukum mati apabila berani menyanyikan atau bersiul lagu kampungnya orang Swiss "Kuhreihen" (Ranz de Vaches), mereka takut para serdadu bayaran mereka minggat. Tetapi kayaknya kita nggak akan minggat deh hanya gara-gara mendengan lagu Bengawan Solo, hehehe.

Para perantau yang mengadu nasib di kota-kota maupun di luar negeri pada hari Lebaran dapat bertemu dengan sanak saudara, keluarga, serta kerabat di tempat kelahirannya. Rasa haru mewarnai ajang tali silaturahmi, karena mereka selama satu tahun atau lebih berpisah kini dapat berkumpul, bercengkerama, bersendau gurau, serta melepas rindu antar saudara dan kerabat. Dari silaturahmi ini, timbullah rasa kebersamaan, kekeluargaan persatuan dan kesatuan, sehingga dapat merasakan kembali hidup dalam kerukunan, atau rukun dalam kehidupan. Pada saat mudik; kita bisa menjaga silaturahim dengan kerabat di kampung halaman atau lebih jauh lagi kita

bakal tetap ingat kepada asal-muasal kita.

Namun bagi kita yang tidak bisa mudik seharusnya tidak perlu terlalau bersedih. Banyak cara kita untuk tetap bisa bersilaturahmi, misalkan melalui surat (sudah nggak jaman kali ya… hehehe… ) dan kalau emak, babe kita bisa internet, cahtting email, video conference adalah solusinya, atau minimal telepon, sebab kata arti sebenarnya dari silahturahmi adalah mendekatkan hubungan kekeluargaan dari segi aspek psikologis atau rohani saja, tanpa kehadiran jasmani atau fisik. Beda silatu-'rahim" sebab kata tersebut mengandung makna lebih dalam. Kata rahim berarti menyertakan jasmani dan rohani. Tapi bagaiamana pun, say yakin kepuasan bathin jelas akan lebih lengkap kalau bisa berjumpa secara fisik.

Nah, bendera start sudah diangkat, sirene polisi pengawal sudah meraung, gemuruh suara mesin bus sudah menderu-deru, lambaian tangan kerabat melepas Anda. Selamat jalan sobat, semoga perjalanan Anda menyenangkan kami doakan selamat sampai tujuan, bertemu dengan keluarga dan handai taulan, sehingga sempurnalah kebahagiaan kita.

Selamat Mudik. Tuhan memberkati.

(Cat. Data diambil dari berbagai sumber, terutama dari guru besar saya, Mang Ucup).

Rabu, 24 Agustus 2011

Ah, Ternyata Saya Kurang Cerdas!



“Alternatif untuk membuat kualitas, antara lain: kemampuan, kesungguhan, ketelitian, dan kecermatan.” – W.A. Foster

Jakarta, 24 Agustus 2011

Di perusahaan tempat saya bekerja ini, saya sering diminta untuk menjadi pembicara baik di kelas-kelas kecil maupun yang (relative) besar. Latar belakang saya sebagai Plant Instructor membuat saya ‘tidak kesulitan’ berbicara di tempat umum, dan di posisi saya sekarang ini (People Development) materi yang saya bawakan tidak lagi melulu seputaran teknik tetapi lebih cenderung ke arah pengembangan individu antara lain; motivasi, kepribadian, kepemimpinan dll. Salah satu materi favorit saya adalah ‘effective communication’, dan saya bersyukur karena kesempatan untuk belajar (apa saja) sudah membudaya di perusahan kami ini sehingga saya tidak kesulitan mencari bahan untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan dalam mengajar.

Karena saya sering mengajarkan tentang komunikasi yang efektif, maka saya juga harus mempraktekkannya dalam kehidupan saya sehari-hari. Karena saya paham benar akan permasalahan yang timbul akibat komunikasi yang tidak efektif, maka saya sangat menghargai dan mengusahakan bahwa setiap informasi yang kita komunikasikan harus benar-benar clear dan sampai kepada tujuan dengan sama maknanya—tidak dikurangi atau dilebihi. Saya sering menegur istri saya—yang mungkin sama dengan kebanyakan orang lain—yang menulis sms dengan singkatan-singkatan atau tidak mengetikkan tanda baca sehingga bisa menimbulkan mispersepsi bagi si penerimanya. Contoh dia menulis seperti ini: “nti sore jd”. Nah, bingung kan? Itu maksudnya nanya apa ngasih tahu? Bukankah sebaiknya kalau mau nanya ya tinggal nambahin tanda tanya di belakangnya, gampang kan? Dengan demikian kan saya harus membalas lagi menanyakan maksud sms-nya. Ini maunya mau ngirit malah ngorot! Mau cepat jadi lambat. Mau ringkas malah bertele-tele. Sangat bertentangan sekali, saya kalau ketik sms selalu (saya usahakan) lengkap, jarang disingkat-singkat dan selalu pakai tanda baca, seperti koma, titik, tanda seru atau tanda tanya. Makanya saya paling ‘sengit’ sama ABG alay yang nulis sms pake huruf besar kecil naik turun dan singkatan-singkatan gak beraturan. Kurang kerjaan banget ya? Apa nggak pegel jempolnya?

Iseng-iseng buka-buka menu HP, saya menemukan hal (yang sebenarnya tidak) baru. Menu T9. Saya tahu ini sudah sejak lama dimana dalam pengetikan bahasa Inggris kita tidak perlu mengetikkan berulang-ulang pada tombol yang sama untuk satu karakter. Predictive text-nya sangat membantu kita supaya lebih cepat mengetik. Pun untuk T9 Bahasa Indonesia saya sudah tahu itu ada, namun saya tidak pernah mencobanya. Dan itulah bodohnya saya. Baru hari ini saya mencobanya dan saya rasa saya sangat menyukainya. Seolah-olah menemukan mainan baru yang menyenangkan. Kebiasaan saya menulis sms yang lengkap dan panjang-panjang ini sangat terbantu dengan menu T9 Bahasa Indonesia ini. Kenapa nggak dari dulu ya saya mencobanya? Menu ini seolah-olah merupakan jawaban atas keengganan saya yang terkadang sering muncul saat menulis sms. Rupaya selama ini saya telah dibuat susah oleh kebodohan saya sendiri.

Ternyata memang benar kata orang, kebodohan adalah sumber kemiskinan. Ada begitu banyak contoh ‘kebodohan-kebodohan’ yang menyebabkan kondisi merugi. Rugi waktu, tenaga, pikiran, materi, dll. Misalkan, karena kita tidak tahu cara yang benar mengoperasikan alat, maka alat itu rusak. Kita tidak tahu memperbaiki suatu peralatan yang sangat sederhana sekalipun maka kita harus beli alat baru atau paling tidak membayar tukang untuk memperbaikinya. Lebih mengerikan lagi karena ketiadaktahuan kita (baca: kebodohan) maka bisa menyebabkan kecelakaan.

Seberapa banyak dari kita yang tidak tahu, betapa ‘dahsyat’nya computer yang sehari-hari ada di depan mata kita? Dia bisa mengerjakan hampir apa saja, kalau kita tahu (baca: cerdas) memanfaatkan fitur-fitur di dalamnya. Kalau Anda berlanganan Indovision, perhatikanlah remote-nya, saya yakin ada banyak fitur yang kita tidak tahu kegunaannya. Yang paling nyata, HP terkini di tangan kita, begitu luar biasanya fitur-fitur di dalamnya bila kita bisa memanfaatkannya semua. Pertanyaannya, sudah cerdaskah kita menggunakannya? Kalau cuman untuk sms, telpon dan internetan, rasanya kita tidak butuh gadget yang harganya sampai juta-jutaan.

Daftar ketidakcerdasan saya rupanya harus bertambah lagi. Karena saya hobi fotografi saya punya dua buah kamera DSLR, dan kamera saya yang pertama saya miliki usianya sudah hampir lima tahun. Otomatis hari-hari saya geluti kamera itu, saya pelajari semua fiturnya, saya kuasai semua tombol-tombolnya. Namun anehnya, baru sekarang saya tahu bahwa camera saya itu mempunyai satu slot tempat menyimpan battery cadangan. Sebelemnya saya tidak tahu sama sekali. Itu pun yang memeberitahu adalah adik saya yang hendak meminjamnya. Selama ini yang saya tahu battery-nya di cemera ya cuman satu. Alangkah naifnya saya. Saya pernah uring-uringan mencari battery cadangan saya yang lenyap entah kemana, bahkan sampai saya beli battery cadangan baru, ternyata battery itu tidak kemana-mana, dia hanya ngumpet di body camera sendiri, di slot penyimpanan yang saya tidak tahu.

Bodoh atau kurang cerdas memang ada hubungannya dengan kurang teliti. Anak kita sebenarnya cerdas, tetapi bila di setiap menjawab soal ulangan tidak teliti, jangan salahkan kalau nilainya jeblok, bahkan bisa berakibat tidak naik kelas. Kalau sudah begitu, tentu saja orang lain bisa beranggapan bahwa anak kita bodoh. Sah-sah saja. Saya pernah juga tidak teliti menghitung uang kembalian yang ternyata kurang, dan saat itu juga saya merasa seperti orang bodoh yang tidak tahu cara menghitung uang. Kebodohan saya lagi, Saya pernah bahkan berulang kali salah membaca petunjuk jalan, sehingga saya harus tersasar dan buang waktu percuma. Tentunya ada banyak lagi daftar ketidakcerdasan saya, dan kalau saya tulis mungkin tidak cukup tempat di sini.

Ternyata bersikap teliti dan cermat itu harus dan perlu! Bukankah orang-orang yang dikatakan cerdas, pintar biasanya adalah orang yang tekun, cermat dan teliti? Saya jarang bahkan tidak pernah menjumpai orang yang ceroboh menjadi orang yang sukses, yang ada justru sebaliknya, orang ceroboh sangat dekat dengan masalah dan kemalangan. Dan rupanya sikap teliti, cermat, hati-hati itu bukan bawaan, dan sikap ceroboh itu bukan penyakit. Semua bisa dilatih dan dibiasakan. Salah satu caranya adalah dengan terbiasa memberi perhatian! Kita harus melakukan segala sesuatu dengan hati. Jangan asal lewat. Jangan masa bodoh. Kita menjadi ada sebagaimana ada adalah karena perilaku kita sehari-hari. Pastikan apa pun yang Anda kerjakan adalah hal yang berarti, bukan kesia-siaan. Pastikan kita menikmati semua apa yang kita lakukan. Jangan asal. Saya yakin, segala sesuatu yang kita kerjakan dengan hati, dengan sungguh-sungguh pasti berbuahkan keberhasilan. Dari buku yang pernah saya baca, bahwa salah satu resep kebahagiaan, sekali lagi, kebahagiaan! adalah menikmati semua yang sedang kita kerjakan.

Akhirnya, ada kutipan bagus sekali dari kitab suci; “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” – Kolese 3:23

Salam cermat dan teliti.



Selasa, 16 Agustus 2011

Mobil Mewah Mental Sampah

Jakarta, 15 Agustus 2011

"Contoh yang baik adalah nasehat terbaik." ~ Fuller

Senin pagi ini sama seperti hari Senin–hari Senin sebelumnya. Lalu lintas padat merayap, ah biasa… saya tidak akan mengeluh untuk itu. Galian kabel di bahu jalan yang membuat gundukan tanah berceceran dan licin waktu hujan pun tidak saya keluhkan. Pengemudi motor yang ‘slonong boy’… ah biarkan saja. Pengemudi mobil yang ‘maksain’ jalan berjejal ngambil jalan motor, mau diapakan lagi? Ya wis ora opo-opo, sing waras ngalah. Namun ada yang lain dari biasanya di Senin pagi di jalanan utama kawasan industri ini. Jalanan yang tidak bisa dibilang indah ini dipenuhi dengan bunga-bunga aneka warna. Di trotoar, di bahu jalan, di tengah jalan, di selokan. Ya, bunga-bunga sampah! Ah.. rupanya kemaren habis ada ‘pesta rakyat’ di sini.

Sebenarnya untuk negara ini hal tersebut tidaklah aneh. Saya sering menyaksikan sendiri, hampir di setiap acara yang mendatangkan massa yang besar, bunga-bunga sampah selalu bermekaran di mana-mana. Ada kertas koran, bekas botol/kaleng minum, gelas plastik, kantong kresek, bekas bungkus makanan, bungkus rokok dan masih buanyaaak yang lainnya. Perhatikanlah, setelah acara pertandingan-pertandingan olah raga, pertunjukan musik, sehabis acara lomba-lomba, kampanye-kampanye, bahkan sehabis acara religi di lapangan, sampah berserakan seolah-olah adalah pemandangan yang lumrah.

Ternyata sebenarnya saya tidak perlu jauh-jauh mengamati hal-hal di atas. Di lingkungan tempat tinggal saya yang secara geografis ada di pinggir kota, masih sejuk karena masih banyak pepohonan pun ternyata sudah mulai banyak sampah yang menumpuk bahkan berceceran di beberapa tempat. Tadinya jalan masuk gang tempat tinggal saya begitu sejuk, bersih dan adem, namun akhir-akhir menjadi begitu tidak nyaman karena ulah segelintir warga (lingkungan lain) yang seenaknya saja membuang bungkusan-bungkusan sampah di sekitaran situ, sehingga memancing orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dan kebetulannya lagi di lingkungan banyak kucing dan anjing yang berkeliaran, maka sudah dapat ditebak hasilnya, buntalan-buntalan itu ‘diodol-odol’ dan terhamburlah isinya. Harum baunya menyebar kemana-mana.

Untunglah kami masih mempunyai banyak warga yang ‘sadar’, pernah kita buatkan dan pasang papan peringatan untuk tidak membuang sampah. Namun tidak berumur lama, paling-paling cuman seminggu, bahkan papan pengumuman yang dibuat seadanya itu pun hilang entah kemana. Lenyap.

Di suatu kesempatan terkadang membuntuti sebuah mobil mewah ada asyiknya juga. Karena saya menyukai otomotif, paling tidak saya bisa mengamat-amati bentuk; bodynya, warnanya, undercarriage-nya, rodanya dan lain-lainnya. Dan paling tidak saya membayangkan kalau mobil ini dijual bisa dapat sepuluh buah mobil saya. Saking asyiknya membututi, saya lihat mobil di depan, jendela depan kanan tempat pengemudi dibuka dan, brrrr… sampah melayang keluar, bungkus lemper (kalau tidak salah) tergeletak di jalan. Tak lama berselang, jendela belakang kiri dibuka, keluar tangan kecil dan brrrr… kantong plastik bekas minuman lengkap dengan sedotannya terbang di trotoar. Rupanya jendela belakang sebelah kanan tidak mau ketinggalan, kaca diturunkan dan brrr… keluar sampah apa saya lupa.

Saya hanya bisa tersenyum dan bicara dalam hati. Kasihan sekali orang-orang ‘kaya’ dalam mobil mewah di depan itu. Ternyata mental-nya tidak sekaya mobilnya. Mungkin mereka sedang diburu waktu sehingga tidak sempat sarapan di rumah makanya makannya di jalanan. Mungkin mereka terlalu berhemat sehingga sayang kalau uangnya digunakan untuk membeli tempat sampah dalam mobil. Betapa sayangnya mereka kepada mobilnya sehingga tidak mau ada sampah di dalamnya. Kasihan anak-anak yang duduk di belakang itu, bukankakah seharusnya ia mendapat contoh dari ayahnya supaya tidak membuang sampah sembarangan bukan malah sebaliknya? Kasihan lingkunganku, mengapa terkotori justru oleh orang-orang yang seharusnya bisa diharapkan memberi contoh.

Saya teringat betapa saya sangat marah dan langsung menegur anak saya ketika ‘menyembunyikan’ bungkus permen di antara celah kasur dalam kamarnya. Saya ceritakan betapa Ayah sering lupa membawa bungkus permen di saku celana sampai ke rumah hanya gara-gara Ayah tidak mau membuang sampah sembarangan. Menyembunyikan sampah menurut saya adalah hal yang sangat kritikal, karena itu adalah masalah mental. Bila diteruskan akan sangat berpengaruh kepada watak dan kepribadiannya. Kalau dibiarkan, bisa sangat mungkin nantinya anak saya akan terbiasa ‘menguntil’, menyembunyikan yang bukan hak-nya, mengambil yang bukan hak-nya, terbiasa melakukan hal-hal buruk di saat tidak dilihat orang. Menurut saya salah satu penyebab mengapa orang korupsi adalah dari semenjak kecil mereka sudah ‘terbiasa menyembunyikan’ apa-apa yang bukan haknya! Melakukan hal-hal tercela saat tidak dilihat orang!

Pemda DKI boleh-boleh saja membuat aturan, bahwasanya barangsiapa yang ketahuan membuang sampah sembarangan bisa dikenakan denda antara Rp100.000 – Rp2.000.000 (Perda DKI Jakarta tentang Keteriban Umum No. 8 tahun 2007 Pasal 21 ayat b), namun selama penegaknya, tim disiplinnya hanya anget-angetan maka peraturan hanya menjadi kertas bungkus gorengan saja. Perilaku jorok warga yang sudah mendarah daging ini hanya bisa diatasi bila aturan dengan tegas dilaksanakan, bukan tebang pilih dan anget-anget tahi ayam. Harus disosialisasikan dan diterapkan dengan gencar! Perlu pemimpin yang tegas untuk itu! Pemimpin yang konsisten!

Bagi kita, jangan terlalu menuntutlah. Jangan bilang; nggak ada tempat sampah lah, nggak ada lahan untuk buang sampah lah, dan lain-lain. Yakin, kalau kita mau pasti ada jalan. Pasti ada cara kalau kita niat. Seorang ibu tua tetangga saja selalu mengumpulkan sampah rumah tangganya dan membakarnya tiap sore di lahan kosong dekat rumahnya. Yang menjadi masalah adalah kemalasan kita, rendahnya kesadaran kita, rendahnya penghargaan kita terhadap orang lain dan lingkungan. Dan itu bukan salah penjajah (yang selalu jadi kambing hitam) mewariskan budaya, itu adalah salah kita. Bagaimana mungkin seorang ayah/ibu membuang sampah sembarangan keluar mobil di depan anak-anaknya?

Masak sih, kalau mau lingkungan bersih dan nyaman warganya harus di bawa ke Singapore atau Jepang? Sudah terlalu parahkah mental bangsaku? Tidak! Saya yakin tidak! Masih terlalu banyak bangsaku yang baik, yang sadar peduli lingkungan. Paling tidak itulah pikiran positif yang selalu saya tanamkan di otak saya. Itulah optimisme saya. Meskipun pada kenyataannya, membuat sampah bertebaran sepanjang jalan masuk kawasan seperti pada pagi hari tadi jelas-jelas sangat tidak mungkin dilakukan oleh segelintir orang. Kekuatan massal yang bisa begini. Ah… betapa beratnya memimpin negeri ini.

Salam hidup bersih!

Rabu, 10 Agustus 2011

JANGAN TABRAK PANTAT-KU

“Your negative attitude can kill others”

Jakarta, 10 Agustus 2011

Akhir-akhir ini lalu lintas pada sore hari terutama saat menjelang buka puasa menjadi begitu padat. Mungkin karena hampir semua jam pulang kantor yang dimajukan seperti kantor saya yang jam pulang resminya jam 16.30 WIB, menjadi 16.00 WIB. Kebiasaan warga yang ngabuburit juga sudah pasti menambah ‘semarak’ jalan-jalan kota besar. Di beberapa ruas jalan bahkan muncul pedagang-pedagang dadakan, dari mulai sandal plastik sampai obeng sepuluh ribu tiga. Dari mulai baju bergambar Upin-Ipin sampai es kolak biji salak.

Saya pun menikmati pulang sore (yang sedikit agak awal dari biasanya) ini. Macet sudah sangat biasa bagi warga Jakarta, tidak ada yang perlu dikeluhkan. Karena dengan mengeluh selain buang energi tak berguna justru merugikan diri sendiri. Jadi saya belajar mengelola pikiran saya untuk tidak mudah menjadi stress hanya karena gara-gara macet. Orang-orang yang menawarkan jajanan di gerobaknya, pengendara-pengendara motor tanpa helm yang ‘keliahatannya’ sengaja memperlambat lajunya, klakson mobil yang tiada henti, asap hitam metro mini, raungan knalpot bajaj bagi saya merupakan orkestra kehidupan yang nyata keindahnya. Pertunjukkan seni hidup ‘yang mungkin’ hanya ada di negeri ini.

Di tengah hiruk pikuknya ‘keindahan’ itu, seharusnya saya terganggu dengan ulah seorang pengendara motor berjaket merah bertuliskan INDONESIA--jacket pendukung Timnas--pikirku. Dia mainkan motor maticnya slonong sana-slonong sini, nyerobot sana-nyerobot sini, motong sana-motong sini, terlebih dia membawa anak kecil yang diberdirikan di tengah sementara ibunya memeganginya dari belakang, semuanya tidak pakai helm. Hebat bukan? Motong dan dipotong di jalan raya mungkin sudah bisa, namun dipotong secara kasar bisa saja siapa saja marah. Termasuk saya. Sebenarnya bisa saja saya mengejarnya terus memelototinnya, atau bahkan memakinya, toh motor saya tidak kalah tenaga untuk menyusulnya. Atau saya diamkan saja, dengan memendam rasa jengkal dan kesal. Pilihan ada di tangan saya untuk bereaksi. Namun saya sadar betul bahwa sikap atau reaksi saya menentukan hidup saya selanjutnya, maka saya tidak boleh salah memilih reaksi.

Ternyata saya tidak memilih keduanya. Kalau saya pilih yang pertama, berati saya sama ‘bodoh’nya dengan dia. Lalu apa bedanya? Saya akan mengejarnya, akan membahayakan nyawa saya dan orang lain, dan sudah pasti orang lain juga akan kesal kepada saya. Kalau sudah terkejar, lalu apakah saya akan ribut dan berantem? Ah… konyol, bukan aku banget kalau seperti itu. Pilihan kedua sebenarnya ‘lumayan’ baik dan disarankan banyak orang, membiarkan saja, kalau nabrak atau jatuh kan urusan dia. Tidak ada yang rugi dari saya. Namun juga saya tidak memilih sikap atau reaksi yang kedua ini.

Saya memilih menentukan sikap saya sendiri dengan mengelola pikiran saya sendiri. Saya memutuskan untuk membiarkan saja, dan memikirkan hal yang positif. Jadi waktu itu saya berkata dalam hati, “Ah, kasihan si mas itu, mungkin saja dia lagi kebelet sehingga naik motor bisa seperti itu, semoga dia cepet samapai rumah dengan selamat dan bisa segera membuang hajatnya.” Saya memutuskan untuk memikirkan itu karena saya ingin membahagiakan diri saya sendiri. Saya tidak ingin mengumpat, memendam kejengkelan, atau bahkan menyimpan kedongkolan itu berlama-lama di pikiran saya. Ternyata saya bisa bahagia dengan mengelola pikiran saya. Dan memang benar kata orang bijak, bahagia atau tidak adalah sebuah keputusan!

Kembali ke motor tadi. Memang tak seberapa lama motor itu meghilang di depan, ditelan padatnya ribuan kendaraan dan saya sudah tidak memikirkannya lagi karena itu tadi, saya sudah memutuskan untuk berbahagia. Saya nikmati lagi betapa padatnya jalan Jatiwaringin ini, betapa ‘kayanya’ orang-orang ini dengan model-model mobil terkininya, betapa semangatnya muda-mudi yang ganteng dan cantik menawarkan paket soft drink-nya, betapa ‘hangat’nya berdesakkan dalam Metro Mini itu. Sampai akhirnya tak terasa perjalanan saya sampai ujung ruas jalan ini dimana kepadatan semakin nyata karena ada pasar di sana.

Saya tidak tahu kenapa motor yang mendahului saya tadi, mendahului saya lagi di sini. Ah, mungkin dia tadi mampir sebentar untuk beli jajan pikirku, paling tidak begitulah karena saya tidak merasa menyalipnya tadi. Masih ‘hebat’ juga cara nyalibnya, zig-zag kanan kiri, meliuk-liuk mendahului mobil dan motor lain. Benar-benar raja jalanan! Namun tak lama kemudian terdengar suara berdencit keras, suara gesekan aspal dengan ban dan…. BRAKKK!!!!... Sang ‘jagoan’ tadi menabrak belakang motor lain di depannya. Si Bapak di depannya rupanya berhenti mendadak karena angkot yang di depannya berhenti mendadak juga, sementara ‘jagoan’ kita yang jalannya ‘pecicilan’ tadi meskipun menginjak rem kuat-kuat tetap saja tidak dapat menghentikan laju motornya. Si Bapak jatuh tertimpa motornya, ‘jagoan’ kita berkostum merah tadi rupanya cukup gagah menahan motornya sehingga tidak ambruk. Syukurlah anak isterinya tidak terluka. Hanya bapak yang ‘ditabrak dari belakang’ tadi yang kelihatannya meringis Manahan sakit.

Really Indonesia! Inilah bangsaku! Lagi-lagi saya harus menyaksikan perilaku bangsaku yang aneh dan pemarah ini. Bukannya menolong dan meminta maaf kepada si Bapak yang ditabraknya tadi, si ‘jagoan’ neon kita ini justru marah-marah dan membentak-bentak Bapak yang jatuh ‘krengkangan’. Dia malah menyalahkan si Bapak itu yang berhenti mendadak katanya. Amarahnya meledak seolah-olah olah dia yang paling benar dan menantang Bapak itu untuk berduel. Kasihan Bapak itu, justru dia yang kelihatannya ketakutan. Kejadian itu kontan membuat macet total jalanan. Para tukang becak dan tukang ojek ramai mengerubuti, ada yang menolong tapi ada juga membakar, memprovokasi supaya kalau mau ribut dan berantem di pinggir saja. Saya sebenarnya tidak peduli kepada ‘‘jagoan’’ tadi. Saya hanya kasihan kepada si Bapak, anak kecil dan ibunya tadi. Untunglah mereka semua tidak apa-apa.

Saya segera meninggalkan kejadian tadi, karena jika saya ikutan nonton justru saya menambah parah macet jalanan. Sambil terus berjalan saya terus berpikir, dan semakin menambah daftar saya tentang tabiat bangsa ini yang pemarah, angkuh, mau menang sendiri, dll. Bukankah menabrak dari belakang adalah salah? Mau beralasan apa pun yang namanya nabrak dari belakang ya tetap saja salah! Nabrak belakang bukti bahwa si penabrak tidak bisa memperhitungkan jarak, si penabrak tidak menguasai kendaraannya, si penabrak tidak menguasai medan, si penabrak tidak bisa memperkirakan kemampuan remnya. Masih terlintas di benak saya betapa pongahnya ‘jagoan berjacket’ Timnas tadi marah-marah di tengah jalan, menantang si Bapak yang kepayahan.

Gara-gara jacket yang dikenakannya tadi pikiran saya langsung melompat ke pertandingan sepak bola. Pikiran saya segera bisa membuat keputusan sendiri. Andaikan terjadi kerusuhan/keributan (yang memang biasanya sering terjadi) pada setiap pertandingan sepak bola kita, saya yakin si ‘‘jagoan’’ kita tadi pasti salah satu pelakunya. Ah… semoga saja pikiran saya ini salah.

Mau dibawa kemana Negara ini kalau perilaku bangsanya seperti itu? Kok ya bisa bertingkah seperti itu di depan anak dan istrinya. Kenapa musti membiasakan menyuguhkan kekerasan, kebrutalan, kemarahan, kesewenang-wenangan di hadapan meraka yang masih polos? Bukankah watak terbentuk karena kebisaan-kebiasaan? Jangan salahkan kalau karakter anaknya mulai terbentuk karena kebiasaan yang orang tuanya ajarkan, bukankah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya?

Karena saya berusaha perpikir positif, saya cuman bisa berharap semoga kejadian itu tadi adalah kejadian yang terakhir kali, terlebih ini kan bulan ‘suci’? Saya tidak mau pesimis bahwa bangsaku tidak bisa berubah. Pasti bisa! Namun (lagi-lagi) saya harus tetap sadar, bahwa merubah watak itu susah setengah mati. Pagi tadi saya melihat (lagi-lagi) di sebuah motor menabrak belakang mobil dan langsung kabur meninggalkan pengemudi mobil yang tolah-toleh terlihat jengkel tak tahu harus berbuat apa di tengah padatnya lalulintas Kalimalang. Inilah Indonesia!

Salam,

Jangan tumbur pantat saya, ya….!!

Jumat, 29 Juli 2011

ORANG GILA DAN GELANDANGAN PUN TIDUR KALO MALAM




“Lebih cepat tidur dan bangun lebih awal membuat manusia sehat, kaya dan bijaksana.” – Benjamin Franklin



Bandung, 26 Juli 2011
Keinginan untuk selalu bugar, mengalahkan ‘kemalasan’ saya untuk terus ngringkel di balik selimut di kamar hotel. Dingin dan segarnya udara pagi Kota Kembang ini, menambah semangat saya untuk memacu langkah saya menyusuri trotoar yang basah berlumut yang sudah beberapa kali hampir membuat saya tergelincir. Mekipun tak ada teman ataupun si Goldie, Golden Retriever-ku namun suasana dan pemandangan sekitar cukup membuatku tambah asyik berjalan kaki sendiri. Rumah-rumah model kuno peninggalan Belanda ini terlihat bersih terawat dan megah, sementara pepohonan tinggi besar di sepanjang jalan rapi berjejer terlihat begitu adem, kokoh dan ‘angker’. Rerumputan basah sisa embun semalam membuat sejuk udara yang masuk ke paru-paru. Hmm… semoga keindahan ini tak lekang oleh waktu.
Suasana masih terang-terang tanah ketika saya sampai di dekat sebuah perempatan di bawah jalan layang. Tak sengaja pandangan saya tertuju kepada ‘sepasang’ gelandangan yang rupanya baru bangun tidur di kasur kardusnya di atas trotoar. Meskipun jalanan sudah mulai berisik dengan deru mobil dan motor kencangnya, sejoli ini dengan santai dan cuek saling berpelukan dan berciuman. Saya yang pura-pura tidak melihat terus saja berjalan melewatinya dengan terus sambil berpikir, bahwa ternyata ada kehidupan yang lain yang mungkin tidak biasa kita lihat sehari-hari. Pasangan yang masih tergolong muda ini pastinya merasa dunia ini memang milik berdua, riuh rendah lalu lintas di sekitarnya baginya mungkin ibarat konser orkestra, dinginnya udara malam baginya pasti lebih menyejukkan daripada AC di hotel berbintang, sarung dan jacket lusuhnya pastilah lebih hangat daripada selimut tebal dan bed cover, sementara kardus tempat tidurnya baginya mungkin lebih nyaman dan empuk daripada spring bed hotel bintang lima.
Aku bersyukur, setidaknya saat ini mereka adalah orang-orang yang berbahagia meskipun papa, senyum sang wanita paling tidak merupakan pertanda bahwa ia juga wanita sempurna yang bisa merasakan dicintai pria meskipun mereka tahu, entah berapa lama mereka akan tetap bertahan di sana. Saya yakin mereka jauh lebih berbahagia ketimbang ribuan, bahkan mungkin jutaan pasangan yang saat itu ‘dengan sangat terpaksa’, tidak dapat bersama dengan pasangannya dan tentunya Anda pun tak perlu tanya mengapa?

Tak jauh dari lokasi itu masih di jalan yang sama kembali mata saya tertuju kepada beberapa tubuh kumal dan lusuh yang masih tertidur dengan pulasnya. Yang seorang di trotoar di bawah jalan layang, yang seorang di emper rumah besar, yang seorang lagi depan pagar perkantoran dekat selokan. Bahkan yang terakhir saya lihat ini agak setengah telanjang, hanya celana panjang kusut dan robek di sana-sini yang ia kenakan. Anda pasti beranggapan bahwa pasti mereka adalah orang gila, orang yang lupa ingatan atau orang yang nggak waras dan Anda benar. Sebab sangat tidak mungkin orang waras tidur dengan tanpa alas, tempatnya sembarangan serta tidak berpakaian.

Namun yang saya hendak tuturkan di sini adalah bukan siapa mereka melainkan betapa mereka menikmati tidur malam mereka. Sepasang orang muda yang saya ceritakan di depan tadi saya rasa menikmati tidur malam mereka di atas trotoar di bawah jalan layang. Mereka terlihat segar di pagi hari. Pun mereka ‘orang gila’, tidak bergeming sama sekali saat tidur bahkan dengan kondisi yang ‘sangat tidak layak’ seperti itu. Tidur mereka (menurut saya) sangat berkualitas, mereka nyenyak sekali, mereka menikmatinya.
Saya langsung teringat rekan saya, yang harusnya presentasi tadi pagi berkata bahwa semalaman ia tidak bisa tidur, saya tidak menanyakan lebih lanjut mengapa tidak bisa tidur, yang jelas dampaknya adalah presentasi saya yang jadwal besok hari harus maju pagi ini menggantinkannya. Tidak masalah, karena saya selalu siap! Rupanya menginap di hotel berbintang pun bukan jaminan bisa tidur nyenyak.

Beberapa saat yang lalu dimana saya harus menginap di mes perusahaan di Balikpapan, saya juga merasakan hal yang sama bahkan hampir tiap malam. Tidak bisa tidur! Tugas saya mengajar, membekali ketrampilan para instruktur dan sertifikator baru selama kurang lebih sepuluh hari itu bukanlah tugas yang mudah sehingga butuh stamina dan konsentrasi yang penuh. Dan saya sadar betul itu, saya butuh istirahat, saya butuh tidur yang berkualitas supaya saya tetap segar dan fit beraktifitas esok harinya. Saya pelajari benar, mengapa orang jadi susah tidur (insomnia), dan memang banyak penyebab, misalnya: makan terlalu banyak, perut lapar, minum obat-obatan atau makanan minuman yang bersifat stimulan, lingkungan yang tidak nyaman, dan maish banyak lagi, namun ternyata faktor terbesar yang membuat imsonia adalah stress!

Seharusnya saya tidak punya alasan kenapa saya tidak bisa tidur. Saya tidak sedang mengkonsumsi obat atau minuman yang bersifat stimulus, suasana kamar mes ini bagus sekali bisa dikatakan sama dengan hotel, saya tidak hobi makan/jajan yang berlebihan yang membuat perut kekenyangan, dan saya juga tidak sedang kelaparan, (menurut saya) saya juga tidak sedang stress; keluarga saya sangat baik kondisinya, saya sedang tidak kekurangan suatu apa, pekerjaan saya juga tidak ada masalah, kerohanian saya menurut saya baik, intinya tidak ada satu hal pun yang perlu saya cemaskan. Namun kenapa saya tidak bisa tidur?

Saya sangat sangat sangat sadar, bila saya kurang tidur sudah dapat dipastikan keesok harinya saya menjadi kurang fit; mengantuk, lesu, dan yang terparah bisa terkena flu dan akibat terakhir inilah yang saya tahu betul harus saya hindari, karena kalau flu sudah menyerang saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, flu melumpuhkan semua aktifitas saya. Kesadaran akan kebutuhan tidur membuat saya berusaha untuk bisa tidur. Saya bahkan meminum obat tidur tertentu dengan maksud supaya bisa lekas tidur, saya bikin teh hangat manis dan makan sedikit kue mungkin saya kelaparan di tengah malam ini, namun tetap saja saya tidak bisa tidur!

Saya tahu saya sedang bermasalah kalau saya tidak bisa tidur. Dan saya harus atasi masalah ini. Tidak bisa dibiarkan menggerogoti hidup saya, usia saya, kesehatan saya. Saya tidak mau cepat tua dan mati hanya karena tidak bisa tidur! Manusia normal butuh tidur! Kita tidak bisa melawan hukum alam ini. Kita butuh keseimbangan. Kalau kita pelajari, akan kita temukan bahwa terlalu banyak fungsi dari istrirahat (baca: tidur) ini. Jangankan manusia, hewan pun butuh tidur, bahkan seperti cerita saya di atas, orang gila, gelandangan pun tidur kalau malam, masak sih kita yang waras ada yang ‘sengaja’ tidak tidur?

Rekan pembaca pasti ada yang protes, lha kalau saya kerja dapat shift malam bagaimana? Tidak masalah selama siang harinya juga kita gunakan untuk tidur, istirahat total. Bukan untuk ngeluyur atau melakukan aktifitas yang lain. Kalong pun yang kerja waktu malam, siangnya pun digunakan untuk tidur. Ingat! Keseimbangan itu harus dan perlu! Tidak kurang cerita tentang kecelakaan kerja yang disebabkan karena kurang istirahat, kalau kita sudah tahu hal ini mengapa kita terus melakukannya?

Fenomena ‘sengaja’ tidak tidur pun dialami anak-anak saya. Kedua anak laki-laki saya mungkin sedang mengalami masa itu, mentang-mentang besoknya libur, malamnya dia ungkapkan keinginannya untuk begadang. “Yah, aku mau begadang sampe pagi”, katanya. Mereka bikin kopi sendiri, nyalakan komputernya atau laptop ayahnya. Apalagi bila ada pertandingan bola tengah malam, anak saya yang besar kadang ‘dengan sengaja’ begadang. Untuk beberapa hal saya ijinkan mereka lakukan itu, biarlah mereka menikmati pengalaman barunya, karena saya tahu ada ‘kebahagian-kebahagian’ kecil yang mugkin mereka dapatkan dengan begadang. Suasana tengah malam, kesunyian, kesendirian, keasyikan sendiri merupakan moment-moment yang yang mungkin sangat berkesan bagi mereka. Namun sebagai orang tua yang ‘waras’ saya juga harus mengontrolnya. Sesekali boleh-boleh saja, tapi kalau terlalu sering, jelas tidak boleh. Mau jadi apa mereka. Saya tidak mau hal-hal kecil yang kita jadikan kebiasaan membentuk karakter yang buruk, dan kalau sudah berkarakter akan butuh energi yang besar untuk mengubahnya.
Kembali ke masalah penyebab mengapa saya tidak bisa tidur. Ternyata memang faktor pikiran menurut para ahli memang menjadi penyebab utama. Jujur atau tidak, disadari atau tidak, pikiran yang sangat besar pengaruhnya. Mungkin saja kita bisa berdalih, saya nggak mikirin apa-apa kok, tidak ada masalah kok, every thing runs well, kok! Namun ada satu hal yang mungkin kita lupa, bahwa ternyata kita pikiran kita terbagi menjadi dua. Pikiran sadar dan pikiran bawah sadar! Kita bisa mengatur, mengelola pikiran sadar kita, tetapi tidak untuk yang satunya. Sekeras apapun usaha kita namun bila pikiran alam bawah sadar kita yang tidak bisa kita kontrol ini liar mengembara kemana-mana jelas berdampak terhadap tubuh kita, setidaknya itulah yang saya baca dan pelajari.

Berserah! Surrender! Ternyata itu kuncinya. Berserah berbeda dengan bersyukur, sebab bisa saja kita bilang kita bersyukur tetapi tetapi tidak berserah! Berserah adalah menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan, berserah berarti kita angkat tangan dan membiarkan Tuhan turun tangan. Berserah berarti menyerahkan pikiran, kemauan, kehendak kita pada Tuhan. Memikirkan, mengusahakan, supaya saya bisa tidur justru membuat saya tidak bisa tidur. Memaksa tubuh dan pikiran kita dengan membayangkan untung ruginya bila tidak tidur justru membuat saya tidak bisa tidur. Berserah! Pasrah bongkokan kepada Tuhan, menyerahkan hari ini, dan besok kepada Tuhan itu kuncinya!

Saya sudah praktekkan, dan syukur sampai saat ini saya tidak ada kesulitan tidur. Dan saya menikmati tidur saya, dan saya menikmati kesegaran di esok harinya, dan saya menikmati aktifitas sepanjang hari tanpa terganggu lesu dan mengantuk.
Kalau orang gila dan gelandangan saja tidur kalau malam, mengapa kita tidak?

Salam butuh tidur!

Kamis, 21 Juli 2011

Penumpang Ngawur

Jakarta, 20 Juli 2011

Hidup yang dipenuhi banyak kesalahan jauh lebih terhormat dan berguna dibandingkan hidup yang tidak berbuat apa-apa. – George Bernard Shaw

Bagi masayarakat yang berbudaya luhur, mengantri adalah sesuatu hal yang wajar/lumrah dalam setiap aktifitas hidup sehari-hari. Sudah dapat dipastikan dimana orang ‘dengan sengaja’ tidak mau mengantri (dalam hal apa saja) kekacauan, keributan, kesemerawutan, kemarahan, bahkan kecelakaan sangat mungkin terjadi.

Namun ada yang sedikit berbeda dalam antrian memasukin cabin pesawat kali ini. Selain antrian cukup panjang, juga agak lama. Ada apakah gerangan? Rupanya ada salah seorang salah ambil tempat duduk sehingga seorang ibu yang tidak berani menegur harus meminta bantuan mbak pramugari untuk mengurusnya. Tentu saja peristiwa ini cukup membuat macet antrian. Seorang pria perlente dengan malu-malu harus pindah dari seat 7A nya ke belakang di seat 29C. Lho kok bisa? Nyasar kok jauh banget? Begitu mungkin pikiran banyak orang, tak terkecuali saya.

Duduk nyaman di samping jendela tak membuat saya untuk berhenti berfikir tentang kejadian tadi. Kok bisa sih, seorang professional (menurut saya) gagah dengan jacket semi jasnya bisa ‘ngawur’ menempati tempat duduk yang bukan haknya? Memang kejadian itu sering terjadi namun biasanya hanya berlaku bagi orang-orang ‘tua’ yang kalau dilepas kacamatanya langsung nabruk-nubruk jalannya. Lha ini… masih muda dan gagah… kok bisa-bisanya?

Keingintahuan saya yang besar menuntun saya untuk mengamati boarding pass saya sendiri. Dan… “JRENG..!” saya temukan jawabannya. Di boarding pass saya yang kecil itu tertulis: Gate A07… Seat 5F. Saya langsung bisa menebak, tulisan di boarding pass ‘bapak yang salah duduk’ tadi pasti: Gate A07… Seat 29C. Ia pasti salah baca yang disangkanya nomor kursi ternyata adalah nomor gate. Meskipun tertulis Gate A07, dengan mantapnya dia duduk di kursi 7A, kursi milik si ibu bingung tadi.

Masih di pesawat yang sama saat penumpang sudah pada turun, saya (lagi-lagi) harus bersabar duduk menunggu antrian untuk keluar cabin karena penumpang ‘berebut’ mengambil barang di bagasi dan pengin segera keluar. Karena tidak kebagian tempat bagasi di atas seat saat mau duduk tadi jadi saya terpaksa menaruh tas saya agak jauh ke belakang. Kondisi ini tentunya ‘memaksa’ saya untuk menunggu sampai penumpang di belakang saya lewat satu per satu, tidak mungkin mereka keluar ke pintu depan sementara saya ‘ngeyel’ melawan arus ke belakang mengambil bagasi.

Di sinilah kejadian ‘penumpang ngawur’ kedua terjadi. Seseorang dengan santainya mengambil tas saya dan memanggul di punggungnya lantas jalan keluar. Hah!!! Apa maksudnya ini? Spontan saya tegur orang ini, “Maaf Pak, itu tas saya!” Agak sedikit kaget ia, dan ia lansung menjawab, “Maaf Mas, saya pikir itu tas temen saya yang mau saya bawakan” Hehehe bener-bener kejadian yang aneh. Coba saja saya tidak melihatnya, lenyap sudah laptop, buku dan dokumen-dokumen saya, setidaknya saya akan kebingungan mencai dan mengurusnya.

Menyusuri lorong ‘Garbarata’ keluar pesawat kembali saya diingatkan kejadian beberapa waktu yang lalu juga berkenaan dengan ‘penumpang ngawur’ ini. Seorang bapak menabrak kaca di samping pintu masuk (kaca juga) yang jelas-jelas terbuka sesaat setelah pengecekan boarding pass waktu mau naik pesawat. Gubrakkk! Tentu saja kejadian ini menarik perhatian semua orang dalam ruang tunggu tersebut. Semuanya terlihat menahan tawa, geli sekaligus kasihan melihat orang setua itu yang masih juga ‘ngawur’ jalannya. Dan yang paling kentara justru mbaknya petugas pengecek boarding pass, mukanya memerah nggak kuat menahan tawa yang teramat sangat. Untung saja, si bapak penabrak kaca itu tidak terluka dan mungkin karena merasa sangat malu langsung ngacir saja naik pesawat.

Saya mencoba memahami perilaku mengapa orang sering ‘ngawur’ seperti itu. Setidaknya ada saya temukan hal-hal yang berikut: kurang konsentrasi, tidak tahu, tidak mau tahu, tidak menghargai orang lain, tidak tahu maksud dan tujuannya, tidak tahu manfaatnya, kurang pengalaman dan pengetahuan, tidak mampu melakukan dan lain sebagainya. Ringkasnya penyebab orang yang ‘ngawur’ tersebut adalah ‘tidak’ kompeten! Ia mungkin saja tahu, tapi tidak mampu melakukan. Ia mungkin bisa saja melakukan tetapi tidak tahu yang sebenarnya harus dilakukan. Atau, ia mungkin saja tahu dan mampu melakukan apa yang seharusnya dilakukan, tetapi selama ia tidak mau, ya dampaknya adalah ‘ngawur’, atau sebenarnya dia mau tetapi karena tidak tahu dan tidak mampu melakukan ya hasilnya ngawur!

Kompetensi memang memiliki tiga unsur: tahu, mampu dan mau. Kehilangan salah satu darinya adalah bukan kompetensi apalagi dua atau bahkan ketiga-tiganya. Perhatikanlah bagaimana seorang pengendara ‘nyerobot’ lampu merah. Saya yakin ia TAHU bahwa merah adalah wajib berhenti, dan saya yakin bahwa ia MAMPU untuk berhenti, namun sayangnya, ia TIDAK MAU untuk berhenti. Dan sudah dapat kita bayangkan akibat dari ‘ngawur’nya tindakan tersebut. Contoh sederhana lainnya lagi, ketika anak saya A’an ingin sekali mendapat dan mengejar layang-layang putus, ia MAU naik ke atas atap rumah, dan berusaha akhirnya MAMPU meraih benang tersebut, namun karena TIDAK TAHU bahwa benang itu adalah benang gelasan, maka saat ia ‘ngawur’ saja menarik benang tersebut maka akibatnya jari telunjuknya tersayat dan harus di bawa ke klinik berobat untuk dijahit beberapa buah.

Lalu apa hubungannya dengan bapak yang salah tempat duduk tadi? Ada! Saya yakin bapak itu tidak mungkin tidak TAHU arti dan membedakan antara tulisan GATE dan SEAT. Dan tentunya bapak tadi MAMPU untuk memilih dan duduk di kursinya sendiri, hanya sayangnya bapak itu tidak MAU dengan teliti membaca tulisan di boarding pass tersebut.

Lebih dalam lagi saya berusaha memahami, ternyata bertindak penuh dengan ‘kengawuran’ tersebut juga sering saya alami. Saya TAHU bahwa jam masuk kantor adalah 08.30, dan saya juga TAHU bahwa lalulintas di Jakarta lebih banyak macetnya daripada lancarnya, dan saya sebenarnya MAMPU berangkat lebih awal, namun karena saya TIDAK MAU berusaha maka saya berangkat agak siangan, di jalanan saya mengendarai kendaraan saya dengan agak ‘ngawur’ karena waktu yang mepet dan Anda tentu sudah tahu lanjutannya. Benar! Saya terlambat! Tetapi lebih parah dari itu, saya (mungkin) dicacimaki oleh banyak orang di jalan.

Tadi malam, isteri saya bercerita tentang usaha Pak Iyan tetangga saya untuk membasmi jentik nyamuk di lobang saluran airn samping rumahya. Ia TAHU bahwa dengan menyiramkan bensin ke dalam saluran akan membunuh bakal nyamuk tersebut. Dan ia MAU melakukan sendiri dengan menyiramkan bensin dari ujung saluran dan berjalan mengintari rumah tetangga hanya untuk memastikan bahwa bensin sudah keluar di ujung lainnya. Namun sayangnya ia TIDAK TAHU bahwa bila uap bensin tersebut akan mampu menimbulkan ledakan bila terkena api. Saya bilang bahwa dia ‘ngawur’ dengan menyulutkan korek di ujung pipa tersebut. Alih-alih ingin membunuh jentik justru ledakan dahsyat yang terjadi, mirip ledakan akibat bocornya saluran tabung gas LPG. Tak ayal lagi warga sekampung geger. Bagaimana tidak geger, pak Iyan pun sampai terpental karena ledakan ‘yang ia bikin’ sendiri.

Tindakan ‘ngawur-ngawur dan ngawur’ tentunya akan sering kita jumpai di sekitar kita, bahkan dalam diri kita sendiri. Nah kalau kita tahu bahwa ‘kengawuran’ kita tersebut mampu merugikan bahkan mencelakakan, mengapa kita terus ngawur? Tidakkah kita mau berhenti sejenak untuk merenungkan, mengapa kita mampu bertindak bodoh seperti itu? Apa dampaknya terhadap orang lain, lingkungan, keluarga kita bahkan diri kita? Masa depan kita? Karir kita? Mari lihat ke dalam. Apakah kita cukup tahu, mampu, dan mau? Tanpa ketiganya, jangan salahkan kalau kita dianggap TIDAK KOMPETEN!

Lain halnya dengan kesalahan. Kesalahan bukan berarti ngawur! Kesalahan adalah hal yang biasa sebagai manusia, justru dari sanalah kita bisa belajar dan kemudian menjadi berhasil. Berbeda dengan ‘ngawur’ yang konotasinya adalah sengaja, asal-asalan, sembrono. Anda boleh saja salah, tetapi seharusnya Anda tidak boleh ngawur!

Keberhasilan adalah milik orang-orang yang berkompeten! – John C. Maxwell

Salam tidak ngawur lagi.