“Your negative attitude can kill others”
Akhir-akhir ini lalu lintas pada sore hari terutama saat menjelang buka puasa menjadi begitu padat. Mungkin karena hampir semua jam pulang kantor yang dimajukan seperti kantor saya yang jam pulang resminya jam 16.30 WIB, menjadi 16.00 WIB. Kebiasaan warga yang ngabuburit juga sudah pasti menambah ‘semarak’ jalan-jalan
Saya pun menikmati pulang sore (yang sedikit agak awal dari biasanya) ini. Macet sudah sangat biasa bagi warga
Di tengah hiruk pikuknya ‘keindahan’ itu, seharusnya saya terganggu dengan ulah seorang pengendara motor berjaket merah bertuliskan
Ternyata saya tidak memilih keduanya. Kalau saya pilih yang pertama, berati saya sama ‘bodoh’nya dengan dia. Lalu apa bedanya? Saya akan mengejarnya, akan membahayakan nyawa saya dan orang lain, dan sudah pasti orang lain juga akan kesal kepada saya. Kalau sudah terkejar, lalu apakah saya akan ribut dan berantem? Ah… konyol, bukan aku banget kalau seperti itu. Pilihan kedua sebenarnya ‘lumayan’ baik dan disarankan banyak orang, membiarkan saja, kalau nabrak atau jatuh
Saya memilih menentukan sikap saya sendiri dengan mengelola pikiran saya sendiri. Saya memutuskan untuk membiarkan saja, dan memikirkan hal yang positif. Jadi waktu itu saya berkata dalam hati, “Ah, kasihan si mas itu, mungkin saja dia lagi kebelet sehingga naik motor bisa seperti itu, semoga dia cepet samapai rumah dengan selamat dan bisa segera membuang hajatnya.” Saya memutuskan untuk memikirkan itu karena saya ingin membahagiakan diri saya sendiri. Saya tidak ingin mengumpat, memendam kejengkelan, atau bahkan menyimpan kedongkolan itu berlama-lama di pikiran saya. Ternyata saya bisa bahagia dengan mengelola pikiran saya. Dan memang benar kata orang bijak, bahagia atau tidak adalah sebuah keputusan!
Kembali ke motor tadi. Memang tak seberapa lama motor itu meghilang di depan, ditelan padatnya ribuan kendaraan dan saya sudah tidak memikirkannya lagi karena itu tadi, saya sudah memutuskan untuk berbahagia. Saya nikmati lagi betapa padatnya jalan Jatiwaringin ini, betapa ‘kayanya’ orang-orang ini dengan model-model mobil terkininya, betapa semangatnya muda-mudi yang ganteng dan cantik menawarkan paket soft drink-nya, betapa ‘hangat’nya berdesakkan dalam Metro Mini itu. Sampai akhirnya tak terasa perjalanan saya sampai ujung ruas jalan ini dimana kepadatan semakin nyata karena ada pasar di
Saya tidak tahu kenapa motor yang mendahului saya tadi, mendahului saya lagi di sini. Ah, mungkin dia tadi mampir sebentar untuk beli jajan pikirku, paling tidak begitulah karena saya tidak merasa menyalipnya tadi. Masih ‘hebat’ juga cara nyalibnya, zig-zag kanan kiri, meliuk-liuk mendahului mobil dan motor lain. Benar-benar raja jalanan! Namun tak lama kemudian terdengar suara berdencit keras, suara gesekan aspal dengan ban dan…. BRAKKK!!!!... Sang ‘jagoan’ tadi menabrak belakang motor lain di depannya. Si Bapak di depannya rupanya berhenti mendadak karena angkot yang di depannya berhenti mendadak juga, sementara ‘jagoan’ kita yang jalannya ‘pecicilan’ tadi meskipun menginjak rem kuat-kuat tetap saja tidak dapat menghentikan laju motornya. Si Bapak jatuh tertimpa motornya, ‘jagoan’ kita berkostum merah tadi rupanya cukup gagah menahan motornya sehingga tidak ambruk. Syukurlah anak isterinya tidak terluka. Hanya bapak yang ‘ditabrak dari belakang’ tadi yang kelihatannya meringis Manahan sakit.
Really
Saya segera meninggalkan kejadian tadi, karena jika saya ikutan nonton justru saya menambah parah macet jalanan. Sambil terus berjalan saya terus berpikir, dan semakin menambah daftar saya tentang tabiat bangsa ini yang pemarah, angkuh, mau menang sendiri, dll. Bukankah menabrak dari belakang adalah salah? Mau beralasan apa pun yang namanya nabrak dari belakang ya tetap saja salah! Nabrak belakang bukti bahwa si penabrak tidak bisa memperhitungkan jarak, si penabrak tidak menguasai kendaraannya, si penabrak tidak menguasai
Gara-gara jacket yang dikenakannya tadi pikiran saya langsung melompat ke pertandingan sepak bola. Pikiran saya segera bisa membuat keputusan sendiri. Andaikan terjadi kerusuhan/keributan (yang memang biasanya sering terjadi) pada setiap pertandingan sepak bola kita, saya yakin si ‘‘jagoan’’ kita tadi pasti salah satu pelakunya. Ah… semoga saja pikiran saya ini salah.
Mau dibawa kemana Negara ini kalau perilaku bangsanya seperti itu? Kok ya bisa bertingkah seperti itu di depan anak dan istrinya. Kenapa musti membiasakan menyuguhkan kekerasan, kebrutalan, kemarahan, kesewenang-wenangan di hadapan meraka yang masih polos? Bukankah watak terbentuk karena kebisaan-kebiasaan? Jangan salahkan kalau karakter anaknya mulai terbentuk karena kebiasaan yang orang tuanya ajarkan, bukankah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya?
Karena saya berusaha perpikir positif, saya cuman bisa berharap semoga kejadian itu tadi adalah kejadian yang terakhir kali, terlebih ini
Salam,
Jangan tumbur pantat saya, ya….!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar