“Daripada menghitung
kesulitan Anda, cobalah menjumlah berkat-berkat yang telah Anda terima.” –
Geoffrey Still
Solo,
November 2012
Pisau terbang
Saya ingat dengan jelas kejadiannya, tetapi saya jelas lupa persis
kapan-nya. Kurang lebih tigapuluh sampai tigapuluh lima tahun yang lalu, saat saya usia sekolah
dasar, ya mungkin sekitar umur enam atau tujuh tahunan. Sore itu di teras, di depan
jendela rumah bulik, saya sedang asik mengamati bapak yang sedang memangkas
rumput dengan menggunakan sebilah bambu dengan mata pisau lengkung yang
diikatkan pada bagian ujungnya. Saya mengajak Anda untuk membayangkan; seperti melihat
orang yang sedang main golf, stick-nya adalah bambu dan kepalanya adalah pisau,
begitulah kira-kira gambarannya bapak mengayunkan bambu, membabat habis
rerumputan di halaman. Memang, waktu itu adalah hari-hari persiapan menjelang
pernikahan bulik saya, sehingga semua orang bersibuk ria berbenah, termasuk
bapak saya.
Jarak kami—saya dan bapak—sekitar lima sampai enam meteran, cukup
aman sebenarnya untuk “menonton” aktifitas bapak bersemangat mengayunkan
“stick” bambunya, namun jelas sangat tidak aman untuk sebuah pisau terbang.
Namun itulah faktanya, pada ayunan yang kesekian kalinya, pisau di ujung bilah
bambu bapak lepas dan dengan sangat cepat melayang tepat ke arah saya. Sudah
pasti tidak ada kesempatan bagi saya untuk berpikir, namun sangat jelas bahkan
sampai sekarang masih terbayang, gerakan pisau itu meluncur dengan demikian cepatnya
tepat menuju muka atau tepatnya kening saya. Dan kalau sekarang saya masih bisa
menulis kisah ini, karena memang pisau itu tidak mengenai muka atau kening
saya; bilah pisau itu tepat menancap di frame kayu jendela persis di belakang kepala
saya. Bukan pisaunya yang meleset, tetapi saya yakin ada “Tangan Yang Dahsyat”
yang menarik kepala saya untuk menghindar. Ya, orang lain akan mengatakan itu
gerakan refleks saya, tetapi saya lebih berpendapat itu adalah mujizat dari
Tuhan. Saya tak hendak menghiba Anda, namun Anda dan saya pasti bisa
membayangkan, bila tidak ada campur tangan dari “Tangan Yang Dahsyat” itu, sebuah
pisau yang menghujam muka seorang anak kecil, dan pisau itu terlempar dari tangan
bapaknya sendiri adalah kejadian yang sangat mengerikan. Yang saya tahu saat
itu, bapak saya segera berlari dan memeluk saya dengan raut muka yang tak bisa
digambarkan.
Angin Duduk
Masih di usia sekolah dasar, ada kejadian yang masih saya ingat
sampai sekarang. Bapakku adalah seorang pekerja keras. Tiada waktu senggang
yang dilewatinya dengan tanpa bekerja. Saat senggang di rumah pun diisinya
dengan aktifitas apapun yang bermanfaat. Entah itu memperbaiki rumah, kendaraan,
peralatan, membersihkan halaman, saluran air, dan lain sebagainya. Meskipun
tidak berpendidikan tinggi, boleh dikata bapak bisa mengerjakan apapun. Bukan
karena ahli, tetapi oleh kemauan yang kuatlah yang membuat beliau bisa meskipun
terkadang dengan pengetahuan seadanya. Oleh sebab itulah saya sebagai anak laki-laki
dan pertama sudah terbiasa membantunya bekerja dari sejak kecil.
Kisah yang satu ini bermula ketika siang hari sepulang sekolah
bapak menyuruh saya membereskan/menggulung kabel sambungan lampu yang masih
lengkap dengan fitting lampu yang telah dilepas lampunya serta “stecker” yang
masih terhubung di stop contact. Sisa kerja semalam yang belum sempat
dibereskan. Saat itu bapak tengah asik menyemen, entah menyemen apa saya lupa,
dan saya membereskan kabel dan mulai menggulungnya.
Namun entah mengapa, tanpa sengaja jari saya masuk ke dalam
fitting lampu yang terbuka tersebut. Serta merta arus listrik menyengat, mengalir
ke sekujur tubuh saya, dan saya tidak kuasa melepasnya. Jari saya bukan saja
seolah lengket di dalam fitting lampu tersebut, tetapi memang benar-benar
lengket tak bisa dilepas. Saya hanya bisa berteriak dan terjatuh menggelepar di atas gundukan pasir
adukan dengan tangan masih ‘tertanam’ di fitting kejam itu. Saya lupa rasanya
bagaimana, tetapi yang jelas tubuh saya kaku dan kejang-kejang, dan sakit
sekali. Untung saja bapak yang masih bekerja di dekat situ segera berlari dan
‘menyambar’ kabel tersebut sehingga lepas. Memang saya belum sempat pingsan,
tetapi saya merasakan badan saya begitu lemas dan tangan saya panas terbakar. Memang
jari saya yang masuk ke fitting tersebut hangus membiru.
Demi mendengar kegaduhan itu, para ibu-ibu yang ada di warung
depan—karena waktu itu ibu berjualan di warung depan—segera berlarian ingin
melihat, namun yang didapatinya saya sudah tergeletak tak berdaya dibopong
bapak. Anehnya ada seorang ibu yang shock dan langsung pingsan melihat kondisi
saya. Masih terekam di otak saya, bahwa saat kejadian tersebut mereka banyak
yang memperbincangkan atau mengira bahwa saya terkena “angin duduk”—istilah orang
jawa untuk menggambarkan kondisi seseorang yang pingsan atau koma secara
mendadak yang dikarenakan kelelahan atau masuk angin. Memang saat kejadian
tersebut saya belum makan siang sepulang sekolah. Lagi-lagi, saya diselamatkan
oleh “Tangan Yang Dahsyat” meskipun dalam wujud tangan bapak. Saya bisa
membayangkan, bagaimana jadinya semisal tidak ada tangan tersebut, pastinya
saya tidak bisa menulis malam ini.
Pintu Air Kampung Kali
Pada masanya, bersepeda berangkat ke sekolah itu memang
menyenangkan, selain banyak teman yang jelas juga bisa menghemat uang. Sewaktu
SMP saya harus menempuh lebih dari sepuluh kilometer bersepeda pulang pergi
setiap hari. Namun pengalaman bersepeda hari itu adalah pengalaman yang luar
biasa yang tak terlupakan dalam hidup saya.
Pagi itu, saya—yang waktu itu masih kelas satu SMP—seperti biasa
mengendarai sepeda mini berangkat ke sekolah. Perjalanan saya bersepeda waktu
itu mengharuskan saya menggunakan jalan pintas menyeberangi sungai “Kampung
Kali Semarang”. Jalan pintas itu sebenarnya adalah dinding/tembok/pembatas pertemuan
dua sungai yang yang cukup lebar, dimana di bawah dinding tersebut ada pusaran
air yang cukup deras dan dalam. Konon sungai itu—yang selanjutnya disebut
kampung kali—adalah sungai peninggalan jaman penjajahan Belanda. Namun karena
hampir setiap hari kami melintasi jalan pintas tersebut, jadi meskipun
sebenarnya cukup berbahaya, kami anak-anak remaja kecil tidak merasa takut sama
sekali.
Namun tidak untuk pagi itu. Ketika kami bersepeda beriringan
menyeberang, posisi kami sangat dekat
sekali dengan bibir sungai. Salah seorang teman yang berada di depan entah
mengapa secara mendadak menghentikan sepedanya sehingga mau tidak mau membuat
semua barisan sepeda di belakangnya harus tarik rem dan berhenti. Kurang
beruntung bagi saya, karena posisi saya terlalu dekat dengan bibir sungai, maka
saat berhenti mendadak tersebut spontan kaki saya turunkan dari pedal. Namun
bukannya tanah yang saya injak, kaki kiri saya menjejak ruang hampa tepat di
atas air di bibir sungai tersebut. Tak ayal lagi saya terjungkal ke sungai
lengkap dengan sepeda mini kesayangan saya. Saya tahu pasti bahwa saat itu saya
belum bisa berenang. Saya merasakan bahwa saya tenggelam dan tersedot jauh ke
dalam pusaran. Saya tidak ingat bagaimana posisi saya waktu itu, namun yang saya
tahu dengan pasti bahwa saat itu saya tidak/belum menyentuh dasar sungai yang
hitam legam itu.
Keajaiban kembali terjadi. Saya merasakan ada sebuah “Tangan Yang
Dahsyat” yang manarik saya ke atas. Kalau tangan manusia rasanya tidak mungkin
karena saya merasa saya tenggelam cukup dalam yang seharusnya tak terjangkau
oleh tangan manusia biasa. Faktanya saya tertarik ke atas, dan tangan seorang
bapak mengangkat saya keluar dari air. Saya kembali selamat! “Tangan Yang
Dahsyat” itu berwujud tangan seorang bapak yang saya sendiri tidak tahu siapa
dan dari mana tiba-tiba dia bisa datang. Saya terpekur di pinggir sungai, belum
bisa memahami apa yang terjadi dan tidak tahu harus berbuat apa. Saya melihat
beberapa orang dewasa mengulurkan sebuah bambu yang sangat panjang, mengaduk-aduk
dasar sungai dan akhirnya menemukan yang mereka cari, ya sepeda mini saya diangkat
keluar dari air. Saya yakin panjang bambu itu lebih dari empat atau lima meter. Bisa
dibayangkan betapa seorang anak kecil terjun ke pusaran sungai sedalam itu
lengkap dengan seragam, tas sekolah dan sepedanya.
Hari-hari selanjutnya, berita “terjunnya” saya ke sungai tersebut
menjadi berita yang menghebohkan di sekolah. Karena memang beberapa waktu
sebelumnya ada berita sering terjadi ada anak yang tercebur ke dalamnya dan
ditemukan jasadnya sudah tidak bernyawa lagi.
(Bukan) Helm “Bathok”
Peristiwa dramatis rupanya tidak hanya terjadi waktu saya duduk di
bangku SD ataupun SMP. Bisa bersepeda motor semasa SLTA adalah sesuatu hal yang
sangat menggembirakan waktu itu. Dan mungkin merupakan hal yang wajar bila saat-saat
itu kita sering memacu motor di jalanan. Berbekal sedikit ilmu dari bangku
sekolah kejuruan, saya meng-oprek motor saya dengan harapan bahwa motor saya
bisa lebih kencang melaju. Dan sebagai akibatnya, tidak jarang saya harus jatuh
bangun sendiri karena cara mengendara yang “ceroboh dan ugal-ugalan”. Sering
sekali saya tertangkap polisi karena kondisi motor yang tidak lengkap atau
melanggar rambu. Dan karena saya tidak punya cukup uang untuk membayar oknum
polisi tersebut, tidak jarang saya harus mengikuti sidang di pengadilan.
Anehnya, alih-alih merasa malu dan kapok, saya justru merasa bangga di hadapan
teman-teman bahwa saya sering tertangkap polisi kerana melanggar.
Suatu siang sepulang sekolah, waktu itu saya memboncengkan seorang
teman hendak menuju tempat les gitar, guna manyelesaikan proses administrasi. Dan
seperti biasanya, saya mengendarai motor dengan pongah dan tanpa mengenal kata
sopan. Saya melintasi jalan kampung kali—jalan yang sama dimana saya pernah
‘terjun” ke sungai seperti yang saya ceritakan di atas. Karena jalan itu memang
satu arah, maka saya “merasa aman” dengan melaju kencang di sisi sebelah kanan,
sampai akhirnya sebuah sepeda penyeberang jalan tiba-tiba memotong jalan saya,
dan saya tidak sempat sedikit pun untuk mengerem. Brakkk…!!! Benturan keras
terjadi, saya terpental jauh ke depan melewati motor saya dengan kepala
membentur aspal.
Seketika saya memang bisa bangun, namun saya tidak sadar apa yang
terjadi. Saya shock! Saya baru sadar setelah seseorang menegur saya dan
menanyakan, jam tangan saya kemana? Rupanya saya telah menabrak penyeberang
bersepeda. Rupanya teman saya hidungnya berdarah. Rupanya gadis penyeberang
tersebut terkapar dengan hidung bercucuran darah. Rupanya saya tidak terluka
parah, hanya sedikit memar di tangan. Rupanya seseorang telah merampas jam
tangan saya saat shock tadi. Rupanya motor
saya tidak terlalu parah. Rupanya helm yang saya pakai terbelah menjadi dua, ya
rupanya kepala saya masih utuh dan saya diselamatkan lagi.
Helm “bathok” adalah istilah helm yang terbuat dari plastik tipis,
nyaris setipis ember, mudah pecah, bukan half face apalagi full face. Helm ini
hanya berbentuk setengah lingkaran seperti layaknya bathok kelapa dan sangat
tidak bermutu, bahkan gabus di dalamnya saja tidak ada. Jauh dari kualitas helm
SNI. Namun saat itu, saat peraturan keselamatan berlalu lintas belum seketat
sekarang, helm model inilah yang paling banyak digunakan oleh orang-orang. Helm
ini ringan! Itulah alasannya. Bahkan tak jarang banyak yang memakainya dengan
tanpa mengkatkan talinya, jadi fungsinya tak lebih dari sebuah topi saja,
makanya tak heran bila kita sering menyaksikan helm tersebut terbang saat
dipakai jalan. Dan helm itulah yang hari-hari saya kenakan.
Namun tidak untuk hari itu. Ada
sebuah “Tangan Yang Dahsyat” yang menuntun saya untuk mengenakan “helm lain”,
helm yang lebih baik dan bermutu. Dan “Tangan Yang Dahsyat” itu juga yang
menuntun saya untuk menguncikan talinya. Sungguh di luar kebiasaan saya. Sehingga
pada saat kejadian di atas, alih-alih kepala saya yang terbelah, justru helm
yng cukup keras tersebut yang terbelah melindungi saya. Pengalaman saya
tersebut telah mengubah mindset saya tentang kesadaran menggunakan helm standard
yang baik. Ya, “Tangan Yang Dahsyat” itu sudah menyediakan helm yang baik
sehingga saya masih ada dan sampai
menulis kisah ini.
Truk Gandeng Banting
Steer
Kejadian “dahsyat” berikutnya terjadi saat saya sudah bekerja dan
mampu membeli mobil sendiri. Sebagai anak muda yang sudah berpenghasilan
sendiri, saya merasa sangat wajar bila saya menjalin hubungan yang lebih serius
dengan kekasih saya—sekarang isteri tercinta—waktu itu. Mobil minibus kecil itu
tidak “berhidung” dan sangat sederhana, namun bagi saya itu sudah cukup bagus
karena sesuai fungsinya bisa mengantar saya bahkan sampai kemana-mana.
Hanya berbekal rindu dan nekat, pada saat cuti saya memacu mobil
tersebut sendirian dari Semarang ke Jakarta, tempat jantung
hati saya berada. Dan seperti biasa, jiwa muda serta kepongahan saya,
mengalahkan akal sehat saya. Dengan tanpa memperhatikan keselamatan dan etika
berkendara saya memacu mobil tersebut semau kaki saya menginjak pedal gas.
Zig-zag kanan kiri, serobot kanan-serobot kiri. Saat ini saya bisa
membayangkan, mungkin saat itu pengguna jalan lainnya merasa kesal dan jengkel
terhadap perilaku saya di jalan raya.
Sampai pada akhirnya, pada saat kondisi padat merayap di Pantura,
di seputaran Cirebon,
saya nekat menyalip sederetan mobil yang panjang yang berjalan relative lambat,
menguntit dengan sebegitu rapat di belakang beberapa bus yang juga nekat
menyalip. Bagaikan gajah dan kambing, setidaknya begitulah membandingkan ukuran
mobil saya dibandingkan dengan bus di depan saya. Saya tidak bisa melihat kondisi
di depan bus, karena memang badan bus yang bongsor itu menutupi hampir separuh
jalan. Sampai pada akhirnya bus di depan saya memberikan tanda lampu sein ke
kiri, dan memaksa masuk ke deretan panjang mobil di sebelah kiri, dan mungkin
karena besarnya akhirnya bus di depan saya tersebut bisa masuk ke jalur kiri,
ke jalur yang sebenarnya. Tinggallah saya sendirian di jalur kanan berhadapan muka
dengan sebuah truck gandeng yang melaju dengan kencang ke arah saya. Saya
banting steer ke kiri, namun deretan kendaraan di sebelah kiri terlalu rapat
untuk bisa memberi ruang kepada saya, jadi saya tetap tertahan melaju di sisi
kanan jalan, sementara truck di depan saya melaju semakin dekat! Saya injak rem
kuat-kuat tetapi mungkin karena terlalu kencang, mobil saya tak bisa dihentikan
secara mendadak.
Jantung saya seolah berhenti berdetak demi melihat truck yang
besar itu melaju kencang ke arah mobil mungil saya. Saya tidak berkutik! Saya
shock setengah mati! Namun kembali ‘keajaiban’ terjadi, truck berkecepatan
tinggi tersebut tiba-tiba banting steer ke kiri, bahkan sampai turun ke bahu
jalan. Bisa dibayangkan truck tersebut turun di bahu jalan yang kasar dengan
kecepatan yang masih tinggi sehingga menimbulkan suara gemuruh yang luar biasa.
Saya bisa merasakan ada “Tangan Yang Dahsyat”yang membanting steer truck tersebut
ke kiri sehingga saya terhindar dari tabrakan fatal.
Setelah lepas dari tabrakan maut itu, saya segera menepikan mobil
saya. badan terasa lemas lunglai, saya shock berat. Saya mereka-reka apa yang
baru saja terjadi. Betapa bodohnya saya, betapa sembrononya saya, betapa saya
merasa menjadi orang yang paling dungu sedunia. Betapa saya begitu naïf menguji
Tuhan. Kembali saya mengajak Anda untuk
membayangkan, jika mobil mungil saya—dimana jarak pengemudi dan dinding depan
tidak sampai satu meter—yang ‘terpergok’ tak berkutik di sisi kanan jalan
berhadapan langsung dengan truck gandeng yang mungkin kesulitan juga mengurangi
lajunya. Apa yang terjadi bila “Tangan Yang Dahsyat” itu tidak kembali menolong
saya?
“Tangan Yang Dahsyat” itu
masih ada
Tiba juga rupanya pada bagian akhir tulisan saya ini.
Kejadian-kejadian ‘dramatis’ yang saya alami di atas adalah sebagian kecil dari
kejadian-kejadian dramatis lainnya yang saya mungkin sudah tidak ingat lagi. ada
banyak, bahkan terlalu banyak mungkin bila harus diceritakan satu per satu.
Belum lagi hal-hal yang kelihatannya sepele, “Tangan Yang Dahsyat” itu selalu menolong,
menopang, mengangkat dan menyelamatkan saya.
Lalu, kalau sedemikian hebat “Tangan Yang Dahsyat” itu menolong
saya, masakan saya melupakan begitu saja? Masakan saya mengeluh, berputus asa,
mengomel hanya perkara-perkara sepele. Masakan saya harus menghitung
kesulitan-kesulitan hidup ini, sementara berkat keselamatannya benar benar
nyata di hidup saya? Sungguh tiada banding berkat-berkatnya. Siapakah “Tangan
Yang Dahsyat” itu? Yah, Anda benar! Tangan itu adalah Tangan Tuhanku yang penuh
kasih.
Sedemikian dahsyat pengalaman tersebut bagi saya pribadi,
menjadikan saya sadar, bahwa dalam hidup ini memang diperlukan kehati-hatian
dalam melakukan segala sesuatu. Kita harus benar-benar sadar, paham, dan
mengerti apa yang sedang kita lakukan; apa tujuan hidup kita dan bagaimana
seharusnya kita mencapainya. Kita tidak bisa hidup semaunya sendiri di tengah
dunia yang sangat kompleks ini. kita tidak boleh menyia-nyiakan hidup yang
Tuhan sudah berikan kepada kita. Biarkan pengalaman-pengalaman “mengerikan ini”
biar saya saja yang mengalami, Anda tidak perlu mengalaminya. Mari jadikan
hidup ini berarti. Bersama dengan “Tangan Yang Dahsyat” kita bisa!