Halaman Blog ini

"SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA KAWAN"

Selamat datang di website saya kawan. Mari kita berbagi! Berbagi ilmu, berbagi rasa, berbagi pengalaman, berbagi materi atau berbagi apa saja. Kita isi kehidupan ini dengan hal-hal yang positif, yang bermanfaat, yang membangun bagi diri sendiri dan sesama. Mari kita wujudkan Indonesia yang damai sejahtera, mulai dari diri kita, mulai saat ini, atau tidak sama sekali! Salam Damai Indonesia.

Sabtu, 17 November 2012

MAS… AWASSSS!!!!!


Dibuang sayang. Sebuah kisah yang diunggah kembali, dalam rangka program K3LH perusahaan. Semoga bermanfaat


Jakarta, November 2012

Peristiwa ini sebenarnya terjadi sudah lama sekali, kurang lebih limabelas tahun yang lalu, tetapi tidak pernah saya lupakan karena nyaris saja terjadi kecelakaan yang mungkin saja dapat merubah jalan cerita hidup saya.

Waktu itu saya mengantar isteri dan anak-anak ke bandara Palembang untuk kemudian mereka terbang ke Jakarta. Kejadiannya adalah pada saat perjalanan pulang menuju Tg. Enim sekitar pukul 17.00 WIB. Karena perjalanan cukup lama sekitar empat jam, maka saat  itu saya sengaja mengajak seorang teman untuk teman mengobrol saat pulang. Perjalanan luar kota membuat saya mengemudikan mobil dengan cukup kencang. Saat di tengah perjalanan saya menerima sms dari isteri saya yang mengabarkan bahwa mereka telah sampai dengan selamat di rumah di Jakarta.

Namun, tengah asyiknya saya ber-sms, tiba-tiba teman di sebelah saya teriak dengan keras sekali, “Masss…Awasss!!!!!” Saya kaget setengah mati. Secara refleks saya injak rem kuat-kuat! Rupanya tepat di depan saya ada sepeda motor yang melambatkan jalannya dan hampir saja saya tabrak dari belakang. Untung saja motor tidak tertabrak. Langsung badan saya terasa lemas, tak bisa dibayangkan bila tidak ada teman saya di sebelah, mungkin motor itu saya tabrak dengan sekencang-kencangnya, dengan tanpa ampun.

Sungguh pengalaman yang sangat berharga, dan saya dapat ambil hikmahnya sbb:

  • Otak manusia tidak dirancang untuk multitasking. Sejatinya kita hanya bisa berfokus ke salah satu hal saja. Bila kita merasa bisa melakukan banyak hal dalam satu kesempatan, sejatinya kita sedang memikirkan yang satu, kemudian berpindah pikiran ke hal yang lain. Oleh sebab itu, jangan pernah menelpon, atau SMS saat berkendara! Titik! Sejago-jagonya kita mengemudi, suatu saat pasti ada lengahnya juga! Hal ini juga termasuk bila kita menggunakan handsfree. Sebab bukan masalah pakai handsfree atau tidak, melainkan masalah konsentrasi kita yang terpecah saat mengemudi/berkendara sambil menelpon.

  • Hindari mengemudikan kendaraan dalam jarak jauh dengan tanpa teman. Sebab seorang teman yang menyenangkan di perjalanan dapat menjadi pemandu, pengingat, penghibur, serta sebagai ‘pengontrol’ bila kita cenderung melakukan kesalahan. Hal ini tidak berlaku bagi teman seperjalanan yang penidur tentunya. J

  • Pastikan kondisi kendaraan kita prima, sehingga bila terjadi hal-hal darurat, masih ada kemungkinan mengatasinya.

  • Meskipun dalam kejadian tabrak belakang, kendaraan yang di depan adalah pihak yang tidak bersalah, namun kalau sudah kejadian, semuanya pasti sama-sama rugi. Untuk itu terapkanlah DEFENSIVE DRIVING saat mengemudi/berkendara! Untuk mengantisipasi tabrak belakang, pastikan: jarak aman beriringan, selain itu pastikan lampu belakang dan lampu rem kita juga berfungsi dengan baik.

Dari peristiwa di atas, saya sangat menyarankan kepada kita semua supaya tidak merasa sok hebat dengan mengemudi/ berkendara sambil menelpon atau SMS. Sebab sudah banyak sekali kejadian incident yang diakibatkan oleh hal ini. Kalau memang terpaksa harus menelpon atau SMS, menepilah di tempat yang aman dan berhenti!


Demikian cerita lama saya, semoga bermanfaat.

Kamis, 15 November 2012

MENGHITUNG BERKAT





“Daripada menghitung kesulitan Anda, cobalah menjumlah berkat-berkat yang telah Anda terima.” – Geoffrey Still


Solo, November 2012

Pisau terbang

Saya ingat dengan jelas kejadiannya, tetapi saya jelas lupa persis kapan-nya. Kurang lebih tigapuluh sampai tigapuluh lima tahun yang lalu, saat saya usia sekolah dasar, ya mungkin sekitar umur enam atau tujuh tahunan. Sore itu di teras, di depan jendela rumah bulik, saya sedang asik mengamati bapak yang sedang memangkas rumput dengan menggunakan sebilah bambu dengan mata pisau lengkung yang diikatkan pada bagian ujungnya. Saya mengajak Anda untuk membayangkan; seperti melihat orang yang sedang main golf, stick-nya adalah bambu dan kepalanya adalah pisau, begitulah kira-kira gambarannya bapak mengayunkan bambu, membabat habis rerumputan di halaman. Memang, waktu itu adalah hari-hari persiapan menjelang pernikahan bulik saya, sehingga semua orang bersibuk ria berbenah, termasuk bapak saya.

Jarak kami—saya dan bapak—sekitar lima sampai enam meteran, cukup aman sebenarnya untuk “menonton” aktifitas bapak bersemangat mengayunkan “stick” bambunya, namun jelas sangat tidak aman untuk sebuah pisau terbang. Namun itulah faktanya, pada ayunan yang kesekian kalinya, pisau di ujung bilah bambu bapak lepas dan dengan sangat cepat melayang tepat ke arah saya. Sudah pasti tidak ada kesempatan bagi saya untuk berpikir, namun sangat jelas bahkan sampai sekarang masih terbayang, gerakan pisau itu meluncur dengan demikian cepatnya tepat menuju muka atau tepatnya kening saya. Dan kalau sekarang saya masih bisa menulis kisah ini, karena memang pisau itu tidak mengenai muka atau kening saya; bilah pisau itu tepat menancap di frame kayu jendela persis di belakang kepala saya. Bukan pisaunya yang meleset, tetapi saya yakin ada “Tangan Yang Dahsyat” yang menarik kepala saya untuk menghindar. Ya, orang lain akan mengatakan itu gerakan refleks saya, tetapi saya lebih berpendapat itu adalah mujizat dari Tuhan. Saya tak hendak menghiba Anda, namun Anda dan saya pasti bisa membayangkan, bila tidak ada campur tangan dari “Tangan Yang Dahsyat” itu, sebuah pisau yang menghujam muka seorang anak kecil, dan pisau itu terlempar dari tangan bapaknya sendiri adalah kejadian yang sangat mengerikan. Yang saya tahu saat itu, bapak saya segera berlari dan memeluk saya dengan raut muka yang tak bisa digambarkan.


Angin Duduk

Masih di usia sekolah dasar, ada kejadian yang masih saya ingat sampai sekarang. Bapakku adalah seorang pekerja keras. Tiada waktu senggang yang dilewatinya dengan tanpa bekerja. Saat senggang di rumah pun diisinya dengan aktifitas apapun yang bermanfaat. Entah itu memperbaiki rumah, kendaraan, peralatan, membersihkan halaman, saluran air, dan lain sebagainya. Meskipun tidak berpendidikan tinggi, boleh dikata bapak bisa mengerjakan apapun. Bukan karena ahli, tetapi oleh kemauan yang kuatlah yang membuat beliau bisa meskipun terkadang dengan pengetahuan seadanya. Oleh sebab itulah saya sebagai anak laki-laki dan pertama sudah terbiasa membantunya bekerja dari sejak kecil.

Kisah yang satu ini bermula ketika siang hari sepulang sekolah bapak menyuruh saya membereskan/menggulung kabel sambungan lampu yang masih lengkap dengan fitting lampu yang telah dilepas lampunya serta “stecker” yang masih terhubung di stop contact. Sisa kerja semalam yang belum sempat dibereskan. Saat itu bapak tengah asik menyemen, entah menyemen apa saya lupa, dan saya membereskan kabel dan mulai menggulungnya.

Namun entah mengapa, tanpa sengaja jari saya masuk ke dalam fitting lampu yang terbuka tersebut. Serta merta arus listrik menyengat, mengalir ke sekujur tubuh saya, dan saya tidak kuasa melepasnya. Jari saya bukan saja seolah lengket di dalam fitting lampu tersebut, tetapi memang benar-benar lengket tak bisa dilepas. Saya hanya bisa berteriak dan  terjatuh menggelepar di atas gundukan pasir adukan dengan tangan masih ‘tertanam’ di fitting kejam itu. Saya lupa rasanya bagaimana, tetapi yang jelas tubuh saya kaku dan kejang-kejang, dan sakit sekali. Untung saja bapak yang masih bekerja di dekat situ segera berlari dan ‘menyambar’ kabel tersebut sehingga lepas. Memang saya belum sempat pingsan, tetapi saya merasakan badan saya begitu lemas dan tangan saya panas terbakar. Memang jari saya yang masuk ke fitting tersebut hangus membiru.

Demi mendengar kegaduhan itu, para ibu-ibu yang ada di warung depan—karena waktu itu ibu berjualan di warung depan—segera berlarian ingin melihat, namun yang didapatinya saya sudah tergeletak tak berdaya dibopong bapak. Anehnya ada seorang ibu yang shock dan langsung pingsan melihat kondisi saya. Masih terekam di otak saya, bahwa saat kejadian tersebut mereka banyak yang memperbincangkan atau mengira bahwa saya terkena “angin duduk”—istilah orang jawa untuk menggambarkan kondisi seseorang yang pingsan atau koma secara mendadak yang dikarenakan kelelahan atau masuk angin. Memang saat kejadian tersebut saya belum makan siang sepulang sekolah. Lagi-lagi, saya diselamatkan oleh “Tangan Yang Dahsyat” meskipun dalam wujud tangan bapak. Saya bisa membayangkan, bagaimana jadinya semisal tidak ada tangan tersebut, pastinya saya tidak bisa menulis malam ini.


Pintu Air Kampung Kali

Pada masanya, bersepeda berangkat ke sekolah itu memang menyenangkan, selain banyak teman yang jelas juga bisa menghemat uang. Sewaktu SMP saya harus menempuh lebih dari sepuluh kilometer bersepeda pulang pergi setiap hari. Namun pengalaman bersepeda hari itu adalah pengalaman yang luar biasa yang tak terlupakan  dalam hidup saya.

Pagi itu, saya—yang waktu itu masih kelas satu SMP—seperti biasa mengendarai sepeda mini berangkat ke sekolah. Perjalanan saya bersepeda waktu itu mengharuskan saya menggunakan jalan pintas menyeberangi sungai “Kampung Kali Semarang”. Jalan pintas itu sebenarnya adalah dinding/tembok/pembatas pertemuan dua sungai yang yang cukup lebar, dimana di bawah dinding tersebut ada pusaran air yang cukup deras dan dalam. Konon sungai itu—yang selanjutnya disebut kampung kali—adalah sungai peninggalan jaman penjajahan Belanda. Namun karena hampir setiap hari kami melintasi jalan pintas tersebut, jadi meskipun sebenarnya cukup berbahaya, kami anak-anak remaja kecil tidak merasa takut sama sekali.

Namun tidak untuk pagi itu. Ketika kami bersepeda beriringan menyeberang, posisi  kami sangat dekat sekali dengan bibir sungai. Salah seorang teman yang berada di depan entah mengapa secara mendadak menghentikan sepedanya sehingga mau tidak mau membuat semua barisan sepeda di belakangnya harus tarik rem dan berhenti. Kurang beruntung bagi saya, karena posisi saya terlalu dekat dengan bibir sungai, maka saat berhenti mendadak tersebut spontan kaki saya turunkan dari pedal. Namun bukannya tanah yang saya injak, kaki kiri saya menjejak ruang hampa tepat di atas air di bibir sungai tersebut. Tak ayal lagi saya terjungkal ke sungai lengkap dengan sepeda mini kesayangan saya. Saya tahu pasti bahwa saat itu saya belum bisa berenang. Saya merasakan bahwa saya tenggelam dan tersedot jauh ke dalam pusaran. Saya tidak ingat bagaimana posisi saya waktu itu, namun yang saya tahu dengan pasti bahwa saat itu saya tidak/belum menyentuh dasar sungai yang hitam legam itu.

Keajaiban kembali terjadi. Saya merasakan ada sebuah “Tangan Yang Dahsyat” yang manarik saya ke atas. Kalau tangan manusia rasanya tidak mungkin karena saya merasa saya tenggelam cukup dalam yang seharusnya tak terjangkau oleh tangan manusia biasa. Faktanya saya tertarik ke atas, dan tangan seorang bapak mengangkat saya keluar dari air. Saya kembali selamat! “Tangan Yang Dahsyat” itu berwujud tangan seorang bapak yang saya sendiri tidak tahu siapa dan dari mana tiba-tiba dia bisa datang. Saya terpekur di pinggir sungai, belum bisa memahami apa yang terjadi dan tidak tahu harus berbuat apa. Saya melihat beberapa orang dewasa mengulurkan sebuah bambu yang sangat panjang, mengaduk-aduk dasar sungai dan akhirnya menemukan yang mereka cari, ya sepeda mini saya diangkat keluar dari air. Saya yakin panjang bambu itu lebih dari empat atau lima meter. Bisa dibayangkan betapa seorang anak kecil terjun ke pusaran sungai sedalam itu lengkap dengan seragam, tas sekolah dan sepedanya.

Hari-hari selanjutnya, berita “terjunnya” saya ke sungai tersebut menjadi berita yang menghebohkan di sekolah. Karena memang beberapa waktu sebelumnya ada berita sering terjadi ada anak yang tercebur ke dalamnya dan ditemukan jasadnya sudah tidak bernyawa lagi.


(Bukan) Helm “Bathok”

Peristiwa dramatis rupanya tidak hanya terjadi waktu saya duduk di bangku SD ataupun SMP. Bisa bersepeda motor semasa SLTA adalah sesuatu hal yang sangat menggembirakan waktu itu. Dan mungkin merupakan hal yang wajar bila saat-saat itu kita sering memacu motor di jalanan. Berbekal sedikit ilmu dari bangku sekolah kejuruan, saya meng-oprek motor saya dengan harapan bahwa motor saya bisa lebih kencang melaju. Dan sebagai akibatnya, tidak jarang saya harus jatuh bangun sendiri karena cara mengendara yang “ceroboh dan ugal-ugalan”. Sering sekali saya tertangkap polisi karena kondisi motor yang tidak lengkap atau melanggar rambu. Dan karena saya tidak punya cukup uang untuk membayar oknum polisi tersebut, tidak jarang saya harus mengikuti sidang di pengadilan. Anehnya, alih-alih merasa malu dan kapok, saya justru merasa bangga di hadapan teman-teman bahwa saya sering tertangkap polisi kerana melanggar.

Suatu siang sepulang sekolah, waktu itu saya memboncengkan seorang teman hendak menuju tempat les gitar, guna manyelesaikan proses administrasi. Dan seperti biasanya, saya mengendarai motor dengan pongah dan tanpa mengenal kata sopan. Saya melintasi jalan kampung kali—jalan yang sama dimana saya pernah ‘terjun” ke sungai seperti yang saya ceritakan di atas. Karena jalan itu memang satu arah, maka saya “merasa aman” dengan melaju kencang di sisi sebelah kanan, sampai akhirnya sebuah sepeda penyeberang jalan tiba-tiba memotong jalan saya, dan saya tidak sempat sedikit pun untuk mengerem. Brakkk…!!! Benturan keras terjadi, saya terpental jauh ke depan melewati motor saya dengan kepala membentur aspal.

Seketika saya memang bisa bangun, namun saya tidak sadar apa yang terjadi. Saya shock! Saya baru sadar setelah seseorang menegur saya dan menanyakan, jam tangan saya kemana? Rupanya saya telah menabrak penyeberang bersepeda. Rupanya teman saya hidungnya berdarah. Rupanya gadis penyeberang tersebut terkapar dengan hidung bercucuran darah. Rupanya saya tidak terluka parah, hanya sedikit memar di tangan. Rupanya seseorang telah merampas jam tangan saya saat  shock tadi. Rupanya motor saya tidak terlalu parah. Rupanya helm yang saya pakai terbelah menjadi dua, ya rupanya kepala saya masih utuh dan saya diselamatkan lagi.

Helm “bathok” adalah istilah helm yang terbuat dari plastik tipis, nyaris setipis ember, mudah pecah, bukan half face apalagi full face. Helm ini hanya berbentuk setengah lingkaran seperti layaknya bathok kelapa dan sangat tidak bermutu, bahkan gabus di dalamnya saja tidak ada. Jauh dari kualitas helm SNI. Namun saat itu, saat peraturan keselamatan berlalu lintas belum seketat sekarang, helm model inilah yang paling banyak digunakan oleh orang-orang. Helm ini ringan! Itulah alasannya. Bahkan tak jarang banyak yang memakainya dengan tanpa mengkatkan talinya, jadi fungsinya tak lebih dari sebuah topi saja, makanya tak heran bila kita sering menyaksikan helm tersebut terbang saat dipakai jalan. Dan helm itulah yang hari-hari saya kenakan.

Namun tidak untuk hari itu. Ada sebuah “Tangan Yang Dahsyat” yang menuntun saya untuk mengenakan “helm lain”, helm yang lebih baik dan bermutu. Dan “Tangan Yang Dahsyat” itu juga yang menuntun saya untuk menguncikan talinya. Sungguh di luar kebiasaan saya. Sehingga pada saat kejadian di atas, alih-alih kepala saya yang terbelah, justru helm yng cukup keras tersebut yang terbelah melindungi saya. Pengalaman saya tersebut telah mengubah mindset saya tentang kesadaran menggunakan helm standard yang baik. Ya, “Tangan Yang Dahsyat” itu sudah menyediakan helm yang baik sehingga saya masih  ada dan sampai menulis kisah ini.


Truk Gandeng Banting Steer

Kejadian “dahsyat” berikutnya terjadi saat saya sudah bekerja dan mampu membeli mobil sendiri. Sebagai anak muda yang sudah berpenghasilan sendiri, saya merasa sangat wajar bila saya menjalin hubungan yang lebih serius dengan kekasih saya—sekarang isteri tercinta—waktu itu. Mobil minibus kecil itu tidak “berhidung” dan sangat sederhana, namun bagi saya itu sudah cukup bagus karena sesuai fungsinya bisa mengantar saya bahkan sampai kemana-mana.

Hanya berbekal rindu dan nekat, pada saat cuti saya memacu mobil tersebut sendirian dari Semarang ke Jakarta, tempat jantung hati saya berada. Dan seperti biasa, jiwa muda serta kepongahan saya, mengalahkan akal sehat saya. Dengan tanpa memperhatikan keselamatan dan etika berkendara saya memacu mobil tersebut semau kaki saya menginjak pedal gas. Zig-zag kanan kiri, serobot kanan-serobot kiri. Saat ini saya bisa membayangkan, mungkin saat itu pengguna jalan lainnya merasa kesal dan jengkel terhadap perilaku saya di jalan raya.

Sampai pada akhirnya, pada saat kondisi padat merayap di Pantura, di seputaran Cirebon, saya nekat menyalip sederetan mobil yang panjang yang berjalan relative lambat, menguntit dengan sebegitu rapat di belakang beberapa bus yang juga nekat menyalip. Bagaikan gajah dan kambing, setidaknya begitulah membandingkan ukuran mobil saya dibandingkan dengan bus di depan saya. Saya tidak bisa melihat kondisi di depan bus, karena memang badan bus yang bongsor itu menutupi hampir separuh jalan. Sampai pada akhirnya bus di depan saya memberikan tanda lampu sein ke kiri, dan memaksa masuk ke deretan panjang mobil di sebelah kiri, dan mungkin karena besarnya akhirnya bus di depan saya tersebut bisa masuk ke jalur kiri, ke jalur yang sebenarnya. Tinggallah saya sendirian di jalur kanan berhadapan muka dengan sebuah truck gandeng yang melaju dengan kencang ke arah saya. Saya banting steer ke kiri, namun deretan kendaraan di sebelah kiri terlalu rapat untuk bisa memberi ruang kepada saya, jadi saya tetap tertahan melaju di sisi kanan jalan, sementara truck di depan saya melaju semakin dekat! Saya injak rem kuat-kuat tetapi mungkin karena terlalu kencang, mobil saya tak bisa dihentikan secara mendadak.

Jantung saya seolah berhenti berdetak demi melihat truck yang besar itu melaju kencang ke arah mobil mungil saya. Saya tidak berkutik! Saya shock setengah mati! Namun kembali ‘keajaiban’ terjadi, truck berkecepatan tinggi tersebut tiba-tiba banting steer ke kiri, bahkan sampai turun ke bahu jalan. Bisa dibayangkan truck tersebut turun di bahu jalan yang kasar dengan kecepatan yang masih tinggi sehingga menimbulkan suara gemuruh yang luar biasa. Saya bisa merasakan ada “Tangan Yang Dahsyat”yang membanting steer truck tersebut ke kiri sehingga saya terhindar dari tabrakan fatal.

Setelah lepas dari tabrakan maut itu, saya segera menepikan mobil saya. badan terasa lemas lunglai, saya shock berat. Saya mereka-reka apa yang baru saja terjadi. Betapa bodohnya saya, betapa sembrononya saya, betapa saya merasa menjadi orang yang paling dungu sedunia. Betapa saya begitu naïf menguji Tuhan.  Kembali saya mengajak Anda untuk membayangkan, jika mobil mungil saya—dimana jarak pengemudi dan dinding depan tidak sampai satu meter—yang ‘terpergok’ tak berkutik di sisi kanan jalan berhadapan langsung dengan truck gandeng yang mungkin kesulitan juga mengurangi lajunya. Apa yang terjadi bila “Tangan Yang Dahsyat” itu tidak kembali menolong saya?


“Tangan Yang Dahsyat” itu masih ada

Tiba juga rupanya pada bagian akhir tulisan saya ini. Kejadian-kejadian ‘dramatis’ yang saya alami di atas adalah sebagian kecil dari kejadian-kejadian dramatis lainnya yang saya mungkin sudah tidak ingat lagi. ada banyak, bahkan terlalu banyak mungkin bila harus diceritakan satu per satu. Belum lagi hal-hal yang kelihatannya sepele, “Tangan Yang Dahsyat” itu selalu menolong, menopang, mengangkat dan menyelamatkan saya.

Lalu, kalau sedemikian hebat “Tangan Yang Dahsyat” itu menolong saya, masakan saya melupakan begitu saja? Masakan saya mengeluh, berputus asa, mengomel hanya perkara-perkara sepele. Masakan saya harus menghitung kesulitan-kesulitan hidup ini, sementara berkat keselamatannya benar benar nyata di hidup saya? Sungguh tiada banding berkat-berkatnya. Siapakah “Tangan Yang Dahsyat” itu? Yah, Anda benar! Tangan itu adalah Tangan Tuhanku yang penuh kasih.

Sedemikian dahsyat pengalaman tersebut bagi saya pribadi, menjadikan saya sadar, bahwa dalam hidup ini memang diperlukan kehati-hatian dalam melakukan segala sesuatu. Kita harus benar-benar sadar, paham, dan mengerti apa yang sedang kita lakukan; apa tujuan hidup kita dan bagaimana seharusnya kita mencapainya. Kita tidak bisa hidup semaunya sendiri di tengah dunia yang sangat kompleks ini. kita tidak boleh menyia-nyiakan hidup yang Tuhan sudah berikan kepada kita. Biarkan pengalaman-pengalaman “mengerikan ini” biar saya saja yang mengalami, Anda tidak perlu mengalaminya. Mari jadikan hidup ini berarti. Bersama dengan “Tangan Yang Dahsyat” kita bisa!


Kamis, 12 Juli 2012

Hari Ini, Empat Belas Tahun Yang Lalu



  
“Cinta seharusnya tidak tetap sama dari tahun ke tahun; cinta seharusnya bertumbuh. Hubungan-hubungan berkembang dengan dengan berlalunya waktu; orang berubah dengan berlalunya waktu, dan kasih kita seharusnya menjadi bertambah kuat dan bertumbuh dengan berlalunya waktu juga. Itu memberitahukan saya bahwa saya tidak dapat memasang kasih saya pada autopilot.” -  Victoria Osteen


Balikpapan, 12 Juli 2012

Kupersembahkan tulisan ini kepada isteriku tercinta, Lusia Wulandari

Kalau ada orang yang paling bahagia tepat empat belas tahun yang lalu adalah saya orangnya. Ya, empat belas tahun yang lalu di dalam sebuah gereja, saya telah menemukan tulang rusuk saya. Saya telah menemukan seorang wanita yang tercantik, yang terbaik, yang terindah di dunia ini. Dialah jantung hati saya, dialah belahan jiwa saya, dialah separuh nyawa saya.

Saya berbahagia bukan saja mendapatkan apa yang saya impi-impikan, saya bahagia karena saya mendapatkannya dengan segala daya upaya yang saya punya serta waktu yang begitu lama. Saya harus melewati masa tujuh tahun dulu untuk mendapatkannya. Ah, saya jadi teringat kisah Yakub di Kejadian 29, yang mana demi mendapatkan Rachel dia rela bekerja tujuh tahun lamanya di rumah pamannya, Laban. Meskipun pamannya bertindak curang dengan menambahkan waktunya tujuh tahun lagi bekerja, Yakub bersedia menjalaninya. Karena sebegitu besar rasa cintanya itu, masa tujuh tahun dianggapnya sebagai beberapa hari saja. Ya, cinta mengalahkan segalanya.

Bagi kebanyakan kita jelas bukan suatu masa yang pendek tujuh tahun itu. Tujuh tahun perjuangan saya, ada banyak perkara, kejadian, permasalahan di dalamnya. Ada banyak perselisihan, ada banyak tantangan yang kalau saja bukan karena sebegitu cinta saya kepadanya, pasti sudah lama saya tidak bersama lagi dengannya. Ternyata keterpisahan meskipun beribu-ribu kilometer jauhnya tidak menyebabkan surut dan melemahnya cinta saya, justru dengan keterpisahanlah yang menyebabkan kerinduan kami semakin membara. Dan terbukti, kami bisa melewati semuanya.

Banyak cerita kalau saya boleh bernostalgia. Pada awal sekali saya harus korbankan kacamata karena pecah jatuh saat mau mengucapkan kata cinta yang pertama kalinya. Saking rindunya kepada dia di Jakarta, saya di usia yang masih sangat muda dengan minim pengalaman pernah dengan nekat menyetir mobil sendiri dari Semarang ke sana dengan resiko hampir mati dihantam truk. Saya pernah sendiri berkendara di malam buta untuk menemuinya di Jogya. Saya pernah berjam-jam antri di gardu telopon di dingin dan bekunya Jayawijaya demi ingin mendengar suara dan menanyakan kabarnya. Saya pernah berdoa setiap tengah malam di perbukitan dengan langit terbuka di negara yang sangat jauh di utara demi kelancaran pernikahan kami. Saya pernah mencelupkan kepala saya di bak kamar mandi saking marahnya mendengar pengakuannya. Saya pernah, pernah, dan pernah lagi mengalami hal-hal seperti itu dan yang saking banyaknya saya pasti ada yang lupa. Tetapi lebih dari itu semua, saya mengalami masa-masa yang indah yang luar biasa selama berada di dekatnya. Selama dekat dengannya indah saja rasanya. Marah mendadak berubah menjadi tertawa. Sedih berubah menjadi gembira.

Kini, empat belas tahun berlalu sudah. Cinta saya memang telah berubah dari semenjak saya mengenalnya dua puluh satu tahun yang lalu. Ya, cinta saya telah berubah. Cinta saya semakin hari semakin berubah lebih dalam, cinta saya semakin bertumbuh, dan berkembang. Mungkin bagi kebanyakan orang hal tersebut bukanlah hal yang istimewa, namun tidak bagi saya! Karena saya terus berusaha membinanya. Saya menumbuh kembangkannya. Saya tidak membiarkannya berjalan apa adanya. Dan kalau sampai hari ini saya masih bersamanya, itu adalah hal yang luar biasa. Apa lagi dengan dua putra yang sempurna, semakin saya tidak mau jauh apalagi lepas darinya.

Tidak perlu rasanya bercerita tentang perkara-perkara di usia perkawinan ini. Dan saya yakin kita semua juga sudah tahu. Ya, banyak, berat, ringan, menyenangkan, menyedihkan, menjengkelkan, menyegarkan, membahagiakan, menyakitkan, menggairahkan, menggemparkan, terkadang membosankan, mengkhawatirkan, menyebalkan, dll, dll. Dan saya menganggapnya ini romantika cinta kami. Saya menganggapnya mozaik-mozaik warna-warni yang justru memperindah perjalanan hidup pernikahan kami. Saya menganggapnya sebagai bukit-bukit kecil yang harus kami daki dan lewati sehingga kami semakin tinggi ke puncak. Lelah memang tetapi menguatkan. Membuat berkeringat tetapi menyegarkan. Ngos-ngosan tetapi menyenangkan.

Terlebih dari itu semua, saya tidak berbangga diri bahwa saya telah keras berusaha. Sebab sedahsyat apa pun usaha, tanpa Tuhan-ku turut serta, yakin pasti semua akan binasa. Ibarat memilin sebuah tali, kalau hanya kami dua utas akan menjadi longgar, lepas dan terpencar. Ya Tuhankulah utas tali ketiga sehingga tali saya menjadi tali yang kokoh dan kuat. Syukur saya tiada henti-hentinya.

Akhirnya, di hari yang special ini, dengan penuh ucapan syukur saya berterima kasih buat isteriku tercinta. Karena kamulah aku ada sebagaimana aku ada saat ini. Keberhasilanku adalah karena perhatian dan cinta kasihmu. Kebahagiaanku hanya bila dekat denganmu. Kamulah semangat hidupku. Karena kamulah aku ingin hidup lebih lama lagi. Percayalah hanya kamu di hatiku, percayalah bahwa aku ingin membahagiakanmu seumur hidupku. Percayalah, bahwa kamu terindah bagiku. Percayalah kamu hidup dan matiku.

Aku ingin menyanyikan lagu ini untukmu, lagu yang sering kita putar menemani tidur-tidur indah kita.


LET IT BE ME

I bless the day I found you
I want to stay around you
And so I beg you, let it be me

Don't take this heaven from one
If you must cling to someone
Now and forever, let it be me

Each time we meet love
I find complete love
Without your sweet love what would life be

So never leave me lonely
Tell me you love me only
And that you'll always let it be me

Each time we meet love
I find complete love
Without your sweet love what would life be

So never leave me lonely
Tell me you love me only
And that you'll always---let--it be--me


Selasa, 10 Juli 2012

Ketika Bukuku Ketinggalan




“Neraka dimulai pada hari ketika Tuhan memberikan kita penglihatan yang jelas terhadap apa yang sebenarnya kita mampu capai, terhadap segala talenta yang kita buang percuma, pada semua hal yang sebenarnya mampu kita lakukan tetapi tidak kita lakukan –Giancarlo Menotti


Jakarta, Juli 2012

Ada yang aneh dengan keberangkatan saya kali ini. Semua keperluan seminggu sudah dipacking rapi dalam tas travel. Termasuk tiga buah buku yang sudah saya siapkan untuk saya baca selama perjalanan maupun di waktu-waktu senggang saya. Dan inilah keanehnya, begitu duduk di ruang tunggu bandara, dan secara refleks tangan saya meraba-raba kantong-kantong besar tas travel saya, Loh! Bukuku mana? Ah, rupanya buku pilihan saya tertinggal semua, tak terbawa.

Sangat tidak biasa jika saya bepergian tanpa buku. Sangat tidak biasa jika waktu waktu luang saya tidak ditemani dengan buku. Saking senangnya membaca buku, lemari buku saya sudah tidak beraturan lagi susunan bukunya, selain karena saya sering menumpuknya sembarangan tetapi yang jelas karena sudah tidak ada lagi tempat untuk menaruhnya. Ya, rumah saya yang sempit tidak memungkinkan saya membeli rak buku yang besar. Karena saking senangnya saya membaca buku, berdampak juga dengan hobi saya membeli buku, meskipun saya tahu kemampuan saya membaca jauh tertinggal dibanding kamampuan saya membeli. Hasilnya bisa diterka, saya punya hutang membaca buku yang susah sekali saya bayar.

Kembali ke ruang tunggu bandara. Sebenarnya saya bisa saja membaca surat kabar, koran atau majalah yang disediakan di ruang tunggu tersebut. Atau setidaknya saya bisa membaca berita lewat internet dari HP ataupun notebook. Namun entah mengapa, kenikmatan membaca buku jauh mengalahkan semua itu. Jadi tak seberapa lama setalah saya membuka-buka internet pun rasa bosan itu segera mendera. Yah, saya butuh buku!

Saya sebenarnya bisa saja keluar dari ruang tunggu dan menuju toko buku yang ada di sepanjang koridor masuk tadi. Namun rasa malas saya berdiri dengan membawa tentengan yang tidak ringan cukup membuat saya untuk membenarkan diri sendiri membuat alasan supaya tetap diam di kursi—meskipun sebenarnya mahalnya harga buku di bandara itulah yang menjadi penyebab utamanya. Jadi, kembali saya termangu-mangu tak tahu harus berbuat apa.

Ada apa dengan saya? Kayaknya ada yang salah deh. Kayaknya bukan tipe saya deh untuk diam berlama-lama tanpa aktifitas yang berguna. Segera saja diam saya membuat saya gelisah. Saya harus bertindak! Apa pun tindakannya, yang jelas saya tidak terbiasa membuang waktu percuma.

Ting! Tiba-tiba saya teringat hutang saya lainnya. Sudah lama saya tidak menulis. Ya, saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri, minimal seminggu sekali saya harus menulis, apalagi saat saya dinas di luar kota dimana waktu saya relative lebih banyak pada malam harinya—di saat jauh dari keluarga. Segera saya buka blog saya, dan tersadar sudah begitu lama sejak tulisan saya terakhir saya upload. Ternyata hutang saya banyak sekali. Dan seperti hutang-hutang lainnya,kali ini pun saya harus membayarnya. Kalau tulisan ini bisa tampil di blog saya, minimal saya sudah mulai mencicil hutang saya. Ada sedikit kelegaan karena hutang saya sedikit berkurang. Dan saya harus terus akan berusaha membayarnya dengan konsistensi saya.

Yah, saya hutang kepada diri saya sendiri. Saya berhutang kepada semua orang pengunjung blog saya, karena dengan tidak menulis berarti berkurang jatah berbagi saya untuk berbagi. Namun yang pasti, perkara dibaca atau tidak, bukan menjadi masalah bagi saya sebab dengan menulis setidaknya itulah salah satu passion saya, dan saya akan merasa sangat berbahagia jika melakukannya.

Jadi, saya justru berterima kasih dengan tertinggalnya buku-buku bacaan saya. Paling tidak ini membuat hidup saya menjadi lebih seimbang. Otak saya tidak boleh terlalu banyak menerima, tetapi saya juga harus banyak memberi. Sebab dengan menerima dan memberi, otak kita menjadi lebih segar. Banyak ide baru bermunculan. Dan yang pasti inilah salah satu makna hidup yang seimbang. Kalau Tuhan sudah memberi kita talenta, mengapa kita menyia-nyiakannya?


Senin, 14 Mei 2012

Kesombongan Rombongan





“Perlakukan setiap orang dengan kebaikan hati dan rasa hormat, meski mereka berlaku buruk kepada Anda. Ingatlah bahwa Anda menunjukkan penghargaan kepada orang lain bukan karena siapa mereka, melainkan karena siapa diri Anda” – Andrew T. Somers.

Tanjung Tabalong, 03 Maret 2012

        Entah bagaimana mulanya, yang jelas saya berada di rombongan pengendara ini. Rombongan yang menurut saya angkuhnya luar biasa. Bagaimana tidak angkuh, jika berjalan di jalan raya saja tidak satu pun yang berhelm, melambai-lambaikan bendera kuning serta mengambil jalan kendaraan seberangnya, memaksa mereka menepi dan mungkin saking takutnya sampai berhenti, memelototi mereka yang nggak mau mengurangi lajunya bahkan menutup jalan di pertigaan atau perempatan dengan menghadangkan motornya.

        Meskipun saya ada di dalamnya, tetapi saya merasa bukan bagian darinya. Saja tetap bermotor seperti apa adanya kebiasaan saya. Berjalan di jalur kiri, berhelm, menyalakan lampu dan tetap tertib di jalur saya. Kalau kebetulan saya berada di antara mereka karena memang begini tradisinya. Berjalan berarakan, berombongan mengantar jenazah ke peristirahatan akhirnya. Saya ikut berbela sungkawa, dan saya menghargai kesedihan anggota keluarganya, dan saya menunjukkan simpati saya dengan mengantarkan jenazahnya. Tetapi perihal perilaku di jalan raya tadi jelas bukan watak saya.

        Ya, itulah fenomena pengantar mayat ke kuburan di negeri ini. Barang siapa yang ketemu mereka harus minggir dan mengalah kalau tidak mau dimaki dan dipelototin semua pengendaranya. Bahkan menghadapi massa yang begitu banyaknya, bapak polisi di sudut perempatan itu hanya cuman terdiam saja sehingga makin membenarkan kelakuan mereka. Kalau sudah menyangkut massa, siapa yang sanggup menahannya? Kalau tidak mau babak belur mending kita diam saja dengan menahan sesak di dada.

        Ini baru kesombongan rombongan pelayat. Perhatikanlah lagi rombongan yang lebih ‘mulia’. Berseragam lengkap dengan atribut dan bendera besar besarnya, bersenjatakan pentungan. Jangankan pemobil atau pemotor lainnya kalau perlu penjual dengan dorongannya pun digebugnya kalau tidak minggir seturut kehendaknya. Mengenakan ‘topi’ kebanggaannya lebih penting daripada helm pelindung kepalanya. Kalau helm-nya saja tidak dikenakannya, bisa dibayangkan betapa suara knalpotnya. Kalau kita ketemu mereka, seolah olah mendapat malapetaka. Jadi kalau kita masih sayang keluarga dan mobil kita, minggir dan menahan laju itu pilihannya. Dalam kondisi seperti ini memang kita seakan dipaksa menghargai keberadaannya, namun saya yakin jauh di lubuk hati kita, mengapa masih gerombolan ini masih saja tetap ada.

        Coba kita beralih dari jalan raya ke kampung kita. Perhatikanlah warga yang sedang kerja bakti di kampung kita. Tak peduli pengusaha, karyawan, guru, TNI/POLRI, tukang bangunan, tukang parkir sampai ke pengangguran, kalau sudah berombongan mereka adalah penguasa. Karena penguasa mereka jadi semena-mena dengan sesama warga. Warga yang tidak bisa hadir acara bisa tiba-tiba bisa menjadi terdakwa, maka hujatan cacian layak disandangkan kepadanya. Dalam rombongan, si tukang bakso bisa dengan garangnya mengusir mobil yang mau melewati jalannya. Si penganggur bisa semena-mena memukuli tiang listrik dan berteriak-teriak bak seorang panglima. Dalam rombongan si tukang mie ayam bisa seenaknya memaki-maki pengendara yang menyenggol cangkul dan pengkinya. Mereka telah menjelma menjadi rombongan mulia, rombongan pahlawan yang berjasa. Jadi barang siapa yang tidak mau menghargainya pasti pantas dilibas pikirnya.

        Itulah fenomena rombongan di negeri saya yang di mata saya lebih terlihat kesombongannya daripada keramahannya. Anda bisa temui dimana-mana, baik di kota dan di desa. Apalagi kalau sudah menyangkut SARA, mereka harus terlihat mulia sehingga bagi siapa yang dirasa menghambat jalannya dianggap musuh yang harus binasa. Aura kesangarannya merebak mengintimidasi sesama. Tidak ada benar salah di benak mereka, yang ada adalah ini lah rombongan saya! Anda harus menghargai rombongan saya! Anda harus menurut apa kata rombongan saya! Kalau tidak, Anda bakal celaka! Tidak ada aturan bagi mereka, aturan sebenarnya adalah apa yang ada di benaknya. Ada di rombongannya. Ya, mereka merasa berjaya karena ada gerombolan bersamanya. Kalau masa itu telah berakhir, rombongannya telah bubar kembali mereka seperti semula, rakyat jelata yang tidak punya kuasa apa-apa.

Selasa, 13 Maret 2012

Multitasking


“Tidaklah cukup hanya menjadi sibuk, sebab semut-semut pun sibuk. Masalahnya adalah: Apa yang membuat kita sibuk?” – Henry David Thoreau
Bontang, 13 Maret 2012
Saya kadang tidak mengerti, sebegitu sibuknya kah orang-orang ini sehingga menjadi tidak peduli kepada mereka yang berpresentasi? Presentasi yang dirancang, dibuat, dilemburkan, dipusingkan, didebar-debarkan di jauh-jauh hari menjadi seolah-olah tak berarti. Di saat dia berapi-api, atau mungkin berkeringat dingin berdiri justru sang juri di sini hanya asyik sendiri. Sebelah kiri asyik dengan hp sendiri, sebelah kanan asyik dengan main game sendiri, deket pintu malah BB-an sendiri, yang paling dekat dengan yang berdiri malah internetan nggak tahu apa yang dicari.
Saya terbiasa berpresentasi, dan jika saja saya yang berpresentasi dikondisikan begini, saya tidak sudi! Saya akan ketuk-ketuk meja dengan spidol atau jika perlu dengan sedikit memaki. Lalu untuk apa mereka mengundang kemari kalau hanya disuruh bicara sendiri? Namun saya bukanlah anak ini, dimana kalau dilihat dari bermacam sisi dan segi memang seolah tiada arti. Mau dari sisi ilmu jelas jauh sekali, pengalaman apalagi. Jadi ya sudah… kalau tidak berani protes, ya memakilah dalam hati.
Sebagai salah satu juri, saya tidak hendak menunjukkan bahwa saya sok peduli, tetapi memang saya harus benar-benar peduli. Saya sering sekali mengajari dalam berbagai sesi bahwa kita harus saling berempati. Lah kalau saya sibuk sediri sementara dia berkeringat dingin berpresentasi, jelaslah sudah kalau saya menipu diri saya sendiri. Memang tidak bisa kita pungkiri keinginan asyik sendiri jelas merupakan godaan susah dihindari. Saya pun juga sangat sangat ingin sekali. Namun saya harus menahan diri, karena saya ingin menghargai.
Setidaknya sikap menghargai itulah yang selalu saya upayakan kepada siapa saja dan kapan saja. Saya menghargai dia yang berpresentasi sebagai orang yang sangat penting, sehingga saya sangat tidak rela kehilangan waktu untuk tidak mendengar apa yang diutarakannya. Saya tidak sedang bilang bahwa mereka para juri yang sedang asyik sendiri adalah tidak menghargai, namun silahkan coba sendiri. Bila Anda berdiri dan berbicara sendiri, sementara yang lain tidak peduli, bagaimana rasa di hati. Sebab tidak ada manusia yang tidak mau dihargai. Itu yang pertama.
Yang kedua, karena saya ingin menikmati saat ini, kekinian. Kalau tugas saya waktu itu adalah sebagai juri, ya saya akan benar-benar bekerja sebagai juri. Bukan juri yang disambi (dibuat sampingan). Saya harus menikmati bagaimana dia berpresentasi, bagaimana dia grogi, bagaimana dia berusaha lucu tetapi malah kaku, dan saya juga sangat menikmati kalau dia juga sebegitu berapi-api. Ya, dengan demikian saya merasa bahagia. Karena kebahagian bukan di sana tetapi di sini dan saat ini, bukan nanti. Seperti bahagianya saya saat ini saat saya mengetik tulisan ini.
Saya sangat tidak bisa percaya bahwa orang bisa mengerjakan bayak tugas dalam satu waktu. Sangat tidak mungkin. Kalau seolah-olah dia bisa pun pada hakekatnya di hanya sedang mengerjakan yang satu, kemudian kehilangan fokus dan dia pindah memikirkan dan mengerjakan yang lain kemudian kehilangan fokus dan dia segera beralih ke pekerjaan yang satunya. Begitu seterusnya. Ya, pada hakekatnya mereka sedang tidak berfokus. Ada tarik menarik yang sama-sama kuat di antara berbagai macam pekerjaannya. Yang satu karena tugas sebagai juri dimana seharusnya dia mengamati, namun karena ada yang ‘lebih menarik’ maka dia akan segera beralih dan meminati yang lebih menarik tadi. Dan saya yakin mereka menyadari bahwa mereka sesungguhnya sedang mencuri. Mencuri waktu tugas mereka yang sejati, dan saya semakin yakin mereka yang kehilangan fokus ini sudah pasti sedang galau yang pikirannya lagi kacau. Nah jelas sudah orang yang sedang galau bagaimana mungkin bisa dikatakan sedang berbahagia?
Manusia adalah manusia, bukan mesin yang mana disadari atau tidak manusia hanya bisa mengerjakan satu tugas di satu waktu. Jangan bilang bahwa kita bisa bekerja dengan tanpa berpikir, jangan bilang bahwa dengan alam bawah sadar kita bisa bekerja dengan tanpa berpikir. Sebab yang dikatakan bekerja di alam bawah sadar kita adalah hasil dari kebiasaan-kebiasaan bekerja (yang tentunya dengan berpikir) sehingga menjadi suatu ketrampilan yang saking biasanya ‘seolah-olah’ tidak perlu dipikir lagi. Seperti misalnya mengendarai mobil, sangat tidak bisa dikatakan bahwa saat kita memindah gigi kita secara tidak sadar. Jelas itu kita sadari dan kita pikirkan. Kalau kita tidak pikirkan atau kita sedang tidak berfokus, sudah bisa banyak bukti diberitakan, tak heran bila sebuah mobil bisa naik trotoar menghantam rombongan orang pejalan kaki. Coba tunjukkan kepada saya, pekerjaan apa sih yang bisa dikerjakan dengan tanpa berpikir?
Jadi, kembali ke masalah presentasi. Kalau saya boleh mengamati, sebenarnya kembali ke hati. Jangan bilang Anda terlalu sibuk sehingga harus selalu melihat BB sementara si grogi berpresentasi. Sebenarnya kita sedang tidak mau memberi hati. Jangankan kita, sesibuk apa pun seorang CEO, bila mendapat kabar anak istri di rumah sedang sakit keras, saya yakin dia akan cepat kembali, sebab di sanalah hatinya berada. Kalau kita rela memberi hati kita kepada pembawa presentasi, jangankan menjadi pemerhati, dia berhenti pun kita tidak bakalan rela hati. Lalu kapan kita mau berhenti asyik sendiri?

Kamis, 08 Maret 2012

Saya Harus Menulis


“Kita semestinya diajar untuk tidak menunggu inspirasi untuk memulai sesuatu hal. Tindakan selalu menciptakan inspirasi. Inspirasi jarang menciptakan tindakan” – Frank Tibolt

Tanjung Tabalong, 02 Maret 2012

Ibarat kendaraan, saat ini kondisi saya mungkin seperti steer yang cenderung belok ke satu sisi. Ibarat seekor burung, saat ini saya mungkin seperti burung yang sebelah sayapnya terluka sehingga miring terbangnya. Ibarat tubuh, saat ini saya mungkin orang yang gemar makan tapi enggan ke jamban dan ibarat tabungan, saat ini saya mungkin sedang giat menambah saldo tapi enggan membuat tarikan. Ya, saat ini saya menyadari bahwa saya sedang tidak seimbang. Dan seperti hukum alam segala sesuatu memang harus seimbang. Barang siapa yang menentang pasti alam punya cara sendiri untuk menyeimbangkan.

Hari ini adalah pas lima bulan saya tidak menulis. Padahal sebenarnya stok tulisan saya sangat banyak, dan sebenarnya tidak ada yang salah dan menyalahkan kalau saya tidak menulis. Toh saya menulis juga tidak ada yang menyuruh apalagi ada yang membayar. Tetapi karena menulis sudah merupakan kesenangan dan berkembang jadi kebiasaan, maka kalau saya tidak melakukannya saya merasa ada yang kurang. Ada sesuatu yang hilang, ada sesuatu yang janggal. Ada sesuatu yang menyalahkan saya, ada sesuatu yang terus membuat kepala saya terus berputar, ada suara hati yang terus menyuruh saya, Saya Harus Menulis.

Kalau saya menyangkal dan berusaha melakukan pembenaran, saya akan berkata; Ah, saya kan lagi sibuk. Ah, saya kan banyak pekerjaan. Ah, saya kan capek. Ah, saya kan nggak ada waktu. Ah, saya kan menunggu inspirasi dan Ah… Ah… Ah… lainnya. Dan pada kenyataannya mungkin saya hanya sedang malas. Kerakusan saya membeli atau meminjam buku sering tidak diimbangi dengan niat kuat membacanya sehingga buku-buku semakin bertumpuk di rak dan bahkan jatuh tempo pengembalian buku perpustakaan kantor pun yang cuman dua minggu bisa molor sampai dua bulan karena saya kehilangan minat membacanya. Namun tidak untuk kali ini. Tiga buku yang cukup tebal bisa saya lahap habis dalam beberapa hari. Dan inilah kondisi saya yang sebenarnya, kadang rajin, kadang malas, kadang berapi-api, kadang melempem. Yah, saya memang sedang tidak seimbang.

Terlalu memang, kalau hanya sekedar menulis saja bisa menjadikan berhala basi saya, sehingga seolah-olah saya merasa berdosa kalau tidak melakukannya, namun itulah saya. Kalau saya terlalu banyak membaca tetapi tidak menulis, saya merasa tidak seimbang. Saya merasa terus mengisi tetapi tidak mengeluarkan. Saya merasa selalu diberkati, tetapi tidak pernah memberi. Inilah sumber permasalahannya. Saya menganggap bahwa bilamana saya menulis, saya merasa sedang memberi, saya merasa sedang berbagi, saya merasa berkorban. Entah berbagi dan memberi model apa jika hanya sekedar tulisan di blog pribadi. Saya sangat berguna sekali kalau ada yang membaca tulisan ini, ada yang mengunjungi blog saya saja sudah merupakan kegembiraan tersendiri, meskipun kunjungannya hanya kebetulan belaka, salah klik atau coba-coba.

Kesempatan saya dimana sering bekerja di luar daerah, sering menginap di hotel bagi saya adalah keberuntungan yang tak terkira. Saya seharusnya punya lebih banyak waktu untuk menulis dibandingkan di rumah di mana waktu saya harus tersita demi anak-anak dan isteri tercinta. Bukannya saya tidak suka tinggal di rumah, tetapi memang meluangkan waktu demi keluarga harus menjadi hal yang utama, karena di sanalah harta and hati saya berada. Jadi alangkah dungunya saya bila saya nekat menulis sementara anak merengek manja minta belajar bersama. Dan itulah komitmen saya, jika menulis menjadi kegembiraan dan kebahagian bagi saya dan saya tidak bisa lakukan di rumah, maka di saat saya di luar kota, saya harus bisa melakukannya.

Dan saat ini kembali saya bertugas di luar kota. Di daerah yang signal pun malu-malu nongolnya. Kalau saya sudah banyak membaca, punya cukup waktu, lalu mau apa? Menulis! Dan saat Anda membaca tulisan saya inilah, semangat menulis saya sedang membara. Saya mau seimbang. Saya tidak mau terintimidasi oleh suara hati saya sendiri. Saya harus menulis! Itu komitmen saya. Dan saya harus mulai! Saat ini dan di sini!