Halaman Blog ini

"SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA KAWAN"

Selamat datang di website saya kawan. Mari kita berbagi! Berbagi ilmu, berbagi rasa, berbagi pengalaman, berbagi materi atau berbagi apa saja. Kita isi kehidupan ini dengan hal-hal yang positif, yang bermanfaat, yang membangun bagi diri sendiri dan sesama. Mari kita wujudkan Indonesia yang damai sejahtera, mulai dari diri kita, mulai saat ini, atau tidak sama sekali! Salam Damai Indonesia.

Kamis, 12 Juli 2012

Hari Ini, Empat Belas Tahun Yang Lalu



  
“Cinta seharusnya tidak tetap sama dari tahun ke tahun; cinta seharusnya bertumbuh. Hubungan-hubungan berkembang dengan dengan berlalunya waktu; orang berubah dengan berlalunya waktu, dan kasih kita seharusnya menjadi bertambah kuat dan bertumbuh dengan berlalunya waktu juga. Itu memberitahukan saya bahwa saya tidak dapat memasang kasih saya pada autopilot.” -  Victoria Osteen


Balikpapan, 12 Juli 2012

Kupersembahkan tulisan ini kepada isteriku tercinta, Lusia Wulandari

Kalau ada orang yang paling bahagia tepat empat belas tahun yang lalu adalah saya orangnya. Ya, empat belas tahun yang lalu di dalam sebuah gereja, saya telah menemukan tulang rusuk saya. Saya telah menemukan seorang wanita yang tercantik, yang terbaik, yang terindah di dunia ini. Dialah jantung hati saya, dialah belahan jiwa saya, dialah separuh nyawa saya.

Saya berbahagia bukan saja mendapatkan apa yang saya impi-impikan, saya bahagia karena saya mendapatkannya dengan segala daya upaya yang saya punya serta waktu yang begitu lama. Saya harus melewati masa tujuh tahun dulu untuk mendapatkannya. Ah, saya jadi teringat kisah Yakub di Kejadian 29, yang mana demi mendapatkan Rachel dia rela bekerja tujuh tahun lamanya di rumah pamannya, Laban. Meskipun pamannya bertindak curang dengan menambahkan waktunya tujuh tahun lagi bekerja, Yakub bersedia menjalaninya. Karena sebegitu besar rasa cintanya itu, masa tujuh tahun dianggapnya sebagai beberapa hari saja. Ya, cinta mengalahkan segalanya.

Bagi kebanyakan kita jelas bukan suatu masa yang pendek tujuh tahun itu. Tujuh tahun perjuangan saya, ada banyak perkara, kejadian, permasalahan di dalamnya. Ada banyak perselisihan, ada banyak tantangan yang kalau saja bukan karena sebegitu cinta saya kepadanya, pasti sudah lama saya tidak bersama lagi dengannya. Ternyata keterpisahan meskipun beribu-ribu kilometer jauhnya tidak menyebabkan surut dan melemahnya cinta saya, justru dengan keterpisahanlah yang menyebabkan kerinduan kami semakin membara. Dan terbukti, kami bisa melewati semuanya.

Banyak cerita kalau saya boleh bernostalgia. Pada awal sekali saya harus korbankan kacamata karena pecah jatuh saat mau mengucapkan kata cinta yang pertama kalinya. Saking rindunya kepada dia di Jakarta, saya di usia yang masih sangat muda dengan minim pengalaman pernah dengan nekat menyetir mobil sendiri dari Semarang ke sana dengan resiko hampir mati dihantam truk. Saya pernah sendiri berkendara di malam buta untuk menemuinya di Jogya. Saya pernah berjam-jam antri di gardu telopon di dingin dan bekunya Jayawijaya demi ingin mendengar suara dan menanyakan kabarnya. Saya pernah berdoa setiap tengah malam di perbukitan dengan langit terbuka di negara yang sangat jauh di utara demi kelancaran pernikahan kami. Saya pernah mencelupkan kepala saya di bak kamar mandi saking marahnya mendengar pengakuannya. Saya pernah, pernah, dan pernah lagi mengalami hal-hal seperti itu dan yang saking banyaknya saya pasti ada yang lupa. Tetapi lebih dari itu semua, saya mengalami masa-masa yang indah yang luar biasa selama berada di dekatnya. Selama dekat dengannya indah saja rasanya. Marah mendadak berubah menjadi tertawa. Sedih berubah menjadi gembira.

Kini, empat belas tahun berlalu sudah. Cinta saya memang telah berubah dari semenjak saya mengenalnya dua puluh satu tahun yang lalu. Ya, cinta saya telah berubah. Cinta saya semakin hari semakin berubah lebih dalam, cinta saya semakin bertumbuh, dan berkembang. Mungkin bagi kebanyakan orang hal tersebut bukanlah hal yang istimewa, namun tidak bagi saya! Karena saya terus berusaha membinanya. Saya menumbuh kembangkannya. Saya tidak membiarkannya berjalan apa adanya. Dan kalau sampai hari ini saya masih bersamanya, itu adalah hal yang luar biasa. Apa lagi dengan dua putra yang sempurna, semakin saya tidak mau jauh apalagi lepas darinya.

Tidak perlu rasanya bercerita tentang perkara-perkara di usia perkawinan ini. Dan saya yakin kita semua juga sudah tahu. Ya, banyak, berat, ringan, menyenangkan, menyedihkan, menjengkelkan, menyegarkan, membahagiakan, menyakitkan, menggairahkan, menggemparkan, terkadang membosankan, mengkhawatirkan, menyebalkan, dll, dll. Dan saya menganggapnya ini romantika cinta kami. Saya menganggapnya mozaik-mozaik warna-warni yang justru memperindah perjalanan hidup pernikahan kami. Saya menganggapnya sebagai bukit-bukit kecil yang harus kami daki dan lewati sehingga kami semakin tinggi ke puncak. Lelah memang tetapi menguatkan. Membuat berkeringat tetapi menyegarkan. Ngos-ngosan tetapi menyenangkan.

Terlebih dari itu semua, saya tidak berbangga diri bahwa saya telah keras berusaha. Sebab sedahsyat apa pun usaha, tanpa Tuhan-ku turut serta, yakin pasti semua akan binasa. Ibarat memilin sebuah tali, kalau hanya kami dua utas akan menjadi longgar, lepas dan terpencar. Ya Tuhankulah utas tali ketiga sehingga tali saya menjadi tali yang kokoh dan kuat. Syukur saya tiada henti-hentinya.

Akhirnya, di hari yang special ini, dengan penuh ucapan syukur saya berterima kasih buat isteriku tercinta. Karena kamulah aku ada sebagaimana aku ada saat ini. Keberhasilanku adalah karena perhatian dan cinta kasihmu. Kebahagiaanku hanya bila dekat denganmu. Kamulah semangat hidupku. Karena kamulah aku ingin hidup lebih lama lagi. Percayalah hanya kamu di hatiku, percayalah bahwa aku ingin membahagiakanmu seumur hidupku. Percayalah, bahwa kamu terindah bagiku. Percayalah kamu hidup dan matiku.

Aku ingin menyanyikan lagu ini untukmu, lagu yang sering kita putar menemani tidur-tidur indah kita.


LET IT BE ME

I bless the day I found you
I want to stay around you
And so I beg you, let it be me

Don't take this heaven from one
If you must cling to someone
Now and forever, let it be me

Each time we meet love
I find complete love
Without your sweet love what would life be

So never leave me lonely
Tell me you love me only
And that you'll always let it be me

Each time we meet love
I find complete love
Without your sweet love what would life be

So never leave me lonely
Tell me you love me only
And that you'll always---let--it be--me


Selasa, 10 Juli 2012

Ketika Bukuku Ketinggalan




“Neraka dimulai pada hari ketika Tuhan memberikan kita penglihatan yang jelas terhadap apa yang sebenarnya kita mampu capai, terhadap segala talenta yang kita buang percuma, pada semua hal yang sebenarnya mampu kita lakukan tetapi tidak kita lakukan –Giancarlo Menotti


Jakarta, Juli 2012

Ada yang aneh dengan keberangkatan saya kali ini. Semua keperluan seminggu sudah dipacking rapi dalam tas travel. Termasuk tiga buah buku yang sudah saya siapkan untuk saya baca selama perjalanan maupun di waktu-waktu senggang saya. Dan inilah keanehnya, begitu duduk di ruang tunggu bandara, dan secara refleks tangan saya meraba-raba kantong-kantong besar tas travel saya, Loh! Bukuku mana? Ah, rupanya buku pilihan saya tertinggal semua, tak terbawa.

Sangat tidak biasa jika saya bepergian tanpa buku. Sangat tidak biasa jika waktu waktu luang saya tidak ditemani dengan buku. Saking senangnya membaca buku, lemari buku saya sudah tidak beraturan lagi susunan bukunya, selain karena saya sering menumpuknya sembarangan tetapi yang jelas karena sudah tidak ada lagi tempat untuk menaruhnya. Ya, rumah saya yang sempit tidak memungkinkan saya membeli rak buku yang besar. Karena saking senangnya saya membaca buku, berdampak juga dengan hobi saya membeli buku, meskipun saya tahu kemampuan saya membaca jauh tertinggal dibanding kamampuan saya membeli. Hasilnya bisa diterka, saya punya hutang membaca buku yang susah sekali saya bayar.

Kembali ke ruang tunggu bandara. Sebenarnya saya bisa saja membaca surat kabar, koran atau majalah yang disediakan di ruang tunggu tersebut. Atau setidaknya saya bisa membaca berita lewat internet dari HP ataupun notebook. Namun entah mengapa, kenikmatan membaca buku jauh mengalahkan semua itu. Jadi tak seberapa lama setalah saya membuka-buka internet pun rasa bosan itu segera mendera. Yah, saya butuh buku!

Saya sebenarnya bisa saja keluar dari ruang tunggu dan menuju toko buku yang ada di sepanjang koridor masuk tadi. Namun rasa malas saya berdiri dengan membawa tentengan yang tidak ringan cukup membuat saya untuk membenarkan diri sendiri membuat alasan supaya tetap diam di kursi—meskipun sebenarnya mahalnya harga buku di bandara itulah yang menjadi penyebab utamanya. Jadi, kembali saya termangu-mangu tak tahu harus berbuat apa.

Ada apa dengan saya? Kayaknya ada yang salah deh. Kayaknya bukan tipe saya deh untuk diam berlama-lama tanpa aktifitas yang berguna. Segera saja diam saya membuat saya gelisah. Saya harus bertindak! Apa pun tindakannya, yang jelas saya tidak terbiasa membuang waktu percuma.

Ting! Tiba-tiba saya teringat hutang saya lainnya. Sudah lama saya tidak menulis. Ya, saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri, minimal seminggu sekali saya harus menulis, apalagi saat saya dinas di luar kota dimana waktu saya relative lebih banyak pada malam harinya—di saat jauh dari keluarga. Segera saya buka blog saya, dan tersadar sudah begitu lama sejak tulisan saya terakhir saya upload. Ternyata hutang saya banyak sekali. Dan seperti hutang-hutang lainnya,kali ini pun saya harus membayarnya. Kalau tulisan ini bisa tampil di blog saya, minimal saya sudah mulai mencicil hutang saya. Ada sedikit kelegaan karena hutang saya sedikit berkurang. Dan saya harus terus akan berusaha membayarnya dengan konsistensi saya.

Yah, saya hutang kepada diri saya sendiri. Saya berhutang kepada semua orang pengunjung blog saya, karena dengan tidak menulis berarti berkurang jatah berbagi saya untuk berbagi. Namun yang pasti, perkara dibaca atau tidak, bukan menjadi masalah bagi saya sebab dengan menulis setidaknya itulah salah satu passion saya, dan saya akan merasa sangat berbahagia jika melakukannya.

Jadi, saya justru berterima kasih dengan tertinggalnya buku-buku bacaan saya. Paling tidak ini membuat hidup saya menjadi lebih seimbang. Otak saya tidak boleh terlalu banyak menerima, tetapi saya juga harus banyak memberi. Sebab dengan menerima dan memberi, otak kita menjadi lebih segar. Banyak ide baru bermunculan. Dan yang pasti inilah salah satu makna hidup yang seimbang. Kalau Tuhan sudah memberi kita talenta, mengapa kita menyia-nyiakannya?