“Cinta seharusnya tidak
tetap sama dari tahun ke tahun; cinta seharusnya bertumbuh. Hubungan-hubungan
berkembang dengan dengan berlalunya waktu; orang berubah dengan berlalunya
waktu, dan kasih kita seharusnya menjadi bertambah kuat dan bertumbuh dengan
berlalunya waktu juga. Itu memberitahukan saya bahwa saya tidak dapat memasang
kasih saya pada autopilot.” - Victoria
Osteen
Kupersembahkan tulisan ini kepada isteriku tercinta, Lusia Wulandari
Kalau ada orang yang paling bahagia tepat empat belas tahun yang
lalu adalah saya orangnya. Ya, empat belas tahun yang lalu di dalam sebuah
gereja, saya telah menemukan tulang rusuk saya. Saya telah menemukan seorang
wanita yang tercantik, yang terbaik, yang terindah di dunia ini. Dialah jantung
hati saya, dialah belahan jiwa saya, dialah separuh nyawa saya.
Saya berbahagia bukan saja mendapatkan apa yang saya impi-impikan,
saya bahagia karena saya mendapatkannya dengan segala daya upaya yang saya
punya serta waktu yang begitu lama. Saya harus melewati masa tujuh tahun dulu
untuk mendapatkannya. Ah, saya jadi teringat kisah Yakub di Kejadian 29, yang
mana demi mendapatkan Rachel dia rela bekerja tujuh tahun lamanya di rumah
pamannya, Laban. Meskipun pamannya bertindak curang dengan menambahkan waktunya
tujuh tahun lagi bekerja, Yakub bersedia menjalaninya. Karena sebegitu besar rasa
cintanya itu, masa tujuh tahun dianggapnya sebagai beberapa hari saja. Ya,
cinta mengalahkan segalanya.
Bagi kebanyakan kita jelas bukan suatu masa yang pendek tujuh
tahun itu. Tujuh tahun perjuangan saya, ada banyak perkara, kejadian, permasalahan
di dalamnya. Ada
banyak perselisihan, ada banyak tantangan yang kalau saja bukan karena sebegitu
cinta saya kepadanya, pasti sudah lama saya tidak bersama lagi dengannya. Ternyata
keterpisahan meskipun beribu-ribu kilometer jauhnya tidak menyebabkan surut dan
melemahnya cinta saya, justru dengan keterpisahanlah yang menyebabkan kerinduan
kami semakin membara. Dan terbukti, kami bisa melewati semuanya.
Banyak cerita kalau saya boleh bernostalgia. Pada awal sekali saya
harus korbankan kacamata karena pecah jatuh saat mau mengucapkan kata cinta
yang pertama kalinya. Saking rindunya kepada dia di Jakarta ,
saya di usia yang masih sangat muda dengan minim pengalaman pernah dengan nekat
menyetir mobil sendiri dari Semarang ke sana dengan resiko hampir
mati dihantam truk. Saya pernah sendiri berkendara di malam buta untuk
menemuinya di Jogya. Saya pernah berjam-jam antri di gardu telopon di dingin
dan bekunya Jayawijaya demi ingin mendengar suara dan menanyakan kabarnya. Saya
pernah berdoa setiap tengah malam di perbukitan dengan langit terbuka di negara
yang sangat jauh di utara demi kelancaran pernikahan kami. Saya pernah
mencelupkan kepala saya di bak kamar mandi saking marahnya mendengar
pengakuannya. Saya pernah, pernah, dan pernah lagi mengalami hal-hal seperti
itu dan yang saking banyaknya saya pasti ada yang lupa. Tetapi lebih dari itu
semua, saya mengalami masa-masa yang indah yang luar biasa selama berada di
dekatnya. Selama dekat dengannya indah saja rasanya. Marah mendadak berubah
menjadi tertawa. Sedih berubah menjadi gembira.
Kini, empat belas tahun berlalu sudah. Cinta saya memang telah
berubah dari semenjak saya mengenalnya dua puluh satu tahun yang lalu. Ya,
cinta saya telah berubah. Cinta saya semakin hari semakin berubah lebih dalam,
cinta saya semakin bertumbuh, dan berkembang. Mungkin bagi kebanyakan orang hal
tersebut bukanlah hal yang istimewa, namun tidak bagi saya! Karena saya terus
berusaha membinanya. Saya menumbuh kembangkannya. Saya tidak membiarkannya
berjalan apa adanya. Dan kalau sampai hari ini saya masih bersamanya, itu
adalah hal yang luar biasa. Apa lagi dengan dua putra yang sempurna, semakin
saya tidak mau jauh apalagi lepas darinya.
Tidak perlu rasanya bercerita tentang perkara-perkara di usia
perkawinan ini. Dan saya yakin kita semua juga sudah tahu. Ya, banyak, berat,
ringan, menyenangkan, menyedihkan, menjengkelkan, menyegarkan, membahagiakan,
menyakitkan, menggairahkan, menggemparkan, terkadang membosankan, mengkhawatirkan,
menyebalkan, dll, dll. Dan saya menganggapnya ini romantika cinta kami. Saya
menganggapnya mozaik-mozaik warna-warni yang justru memperindah perjalanan
hidup pernikahan kami. Saya menganggapnya sebagai bukit-bukit kecil yang harus
kami daki dan lewati sehingga kami semakin tinggi ke puncak. Lelah memang
tetapi menguatkan. Membuat berkeringat tetapi menyegarkan. Ngos-ngosan tetapi
menyenangkan.
Terlebih dari itu semua, saya tidak berbangga diri bahwa saya
telah keras berusaha. Sebab sedahsyat apa pun usaha, tanpa Tuhan-ku turut
serta, yakin pasti semua akan binasa. Ibarat memilin sebuah tali, kalau hanya
kami dua utas akan menjadi longgar, lepas dan terpencar. Ya Tuhankulah utas
tali ketiga sehingga tali saya menjadi tali yang kokoh dan kuat. Syukur saya
tiada henti-hentinya.
Akhirnya, di hari yang special ini, dengan penuh ucapan syukur
saya berterima kasih buat isteriku tercinta. Karena kamulah aku ada sebagaimana
aku ada saat ini. Keberhasilanku adalah karena perhatian dan cinta kasihmu.
Kebahagiaanku hanya bila dekat denganmu. Kamulah semangat hidupku. Karena
kamulah aku ingin hidup lebih lama lagi. Percayalah hanya kamu di hatiku,
percayalah bahwa aku ingin membahagiakanmu seumur hidupku. Percayalah, bahwa kamu
terindah bagiku. Percayalah kamu hidup dan matiku.
Aku ingin menyanyikan lagu ini untukmu, lagu yang sering kita
putar menemani tidur-tidur indah kita.
LET IT BE ME
I bless the day I found
you
I want to stay around you
And so I beg you, let it
be me
Don't take this heaven
from one
If you must cling to
someone
Now and forever, let it
be me
Each time we meet love
I find complete love
Without your sweet love
what would life be
So never leave me lonely
Tell me you love me only
And that you'll always
let it be me
Each time we meet love
I find complete love
Without your sweet love
what would life be
So never leave me lonely
Tell me you love me only
And that you'll
always---let--it be--me